http://www.kampusnusantara.com/2017/03/mengajarkan-pola-perkembangan-kanak.html
Oleh: Ganjar Sudibyo
Pendahuluan
Dalam perjalanan penelitiannya, pada tahun 1924, JB Watson menulis sebuah studi tentang clasical conditioning yang berjudul“Behaviorism”. Sebuah pernyataan yang sering kali dikutip, dan kemudian menginspirasi Soekarno dalam penggalan pidatonya (tahun 1961), “beri aku 10 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Demikian JB Watson menyatakan: “Beri aku selusin bayi sehat, yang tidak cacat, dan memiliki dunia spesifik yang telah ditentukan untuk menumbuh-kembangkan diri mereka. Aku akan menanggung untuk mengambil salah satu dari mereka secara acak, kemudian melatihnya untuk menjadi tipe lain yang aku pilih–dokter, pengacara, seniman, bos, dan bahkan pengemis dan pencuri, terlepas dari segala bakatnya, kecenderungan, kemampuan, potensi, dan ras nenek-moyangnya. Aku yakin, aku bahkan akan melebihi kenyataan dari hasil itu.” Kedua hal itulah yang bisa menjadi rujukan bahwa dalam konteks ini, anak maupun ‘darah muda’, masih mempunyai kesempatan besar untuk dibentuk, dididik sedemikian rupa seperti yang dikehendaki oleh pengasuhnya. Begitulah hukum behaviorisme berjalan.
Mustofa W Hasyim dalam sebuah tulisannya di penutup antologi buku puisi yang ditulis oleh murid-murid berjudul Tiba-tiba Kulihat Cahaya (2016), membicarakan tentang daya khayal atau imajinasi yang dimiliki oleh anak-anak. Usia anak-anak adalah usia yang identik dengan belajar mengenal sesuatu, usia yang identik dengan hal-hal berbau fantasi. Objek atau benda yang dipandang oleh anak-anak sering kali berbeda jika dipandang oleh orang yang berusia dewasa. Hasyim menerangkan bahwa anak-anak lebih imajinatif ketika memandang sebuah benda atau objek. Dalam upaya menulis puisi yang dilakukan oleh anak-anak adalah suatu hal yang dapat menyeimbangkan jiwa dan mengasah daya khayal, terlebih kreativitas.
Anak-anak (dalam konteks usia kronologis) disebut sebagai kertas putih yang belum ditulisi (a sheet or white paper avoid of all characters), inilah yang lebih dikenal sebagai prinsip tabularasa (yang dimunculkan oleh Aquinas pada abad 13 kemudian dikembangkan John Locke dan Francis Bacon pada abad 17). Prinsip ini punya hubungan yang dekat dengan prinsip-prinsip behaviorisme. Anak adalah kertas putih bersih (scraped tablet atau blank slate) yang belum mempunyai banyak kenangan, ingatan, masa lalu, sejarah, peristiwa, maupun segala bentuk input yang masuk ke dalam pikiran maupun perasaannya. Orang tua atau pengasuhnyalah yang membentuk semua pengalaman turun kepada anak. Menjadi anak yang nakal, misalnya, tidak bisa tidak, itu adalah produk dari pengasuhnya (bukan lingkungan luarnya). Kiranya telah banyak contoh untuk membuktikan hal ini, contoh positif maupun negatif.
Membaca “Resep Membuat Jagat Raya” (RMJR), adalah membaca perkembangan imajinasi kanak-kanak lewat tulisan. Dan imajinasi yang dibangun pada usia kanak-kanak adalah imajinasi yang hadir melalui berbagai ‘media’ dan ‘person’ yang pernah bersentuhan oleh si Anak. Dan di dalam itulah, tersimpan gerak tumbuh-kembang. Kebermanfaatan dalam dunia tulis-menulis, membaca, melukis, atau seni yang sarat pengolahan kreativitas dan emosi, tentu perlu diperhitungkan oleh para orang tua atau pengasuh maupun pendidik saat ini yang konon sering kali kalap hanya karena ‘lingkungan tak sehat’.
(Grand-theory) Psikologi Perkembangan Anak
Banyak sudut yang bisa memengaruhi perkembangan anak. Dalam wacana psikologi, adapun tahap-tahap perkembangan anak yang masing-masing tahap mempunyai tugas atau peran operasional perkembangan yang berbeda. Tokoh-tokoh dalam grand-theorypsikologi perkembangan anak ini memberikan penjelasan masing-masing. Hurlock (1978) mengidentifikasikan bahwa masa kanak-kanak terjadi di kisaran umur 2 sampai 10 tahun. dalam umur ini kondisi anak masih immature, tanda-tandanya meliputi usaha menyesuaikan diri dengan lingkungan, sehingga anak merasa bahwa dirinya merupakan bagian dari lingkungan. Penyesuaian sosial melalui pergaulan dan berbagai pernyataan. Hurlock menyebutkan adanya istilah “strum und drang”, yang artinya anak mengalami situasi di mana segala hal ditanyakan dan diragukan.
Mahler (1968), secara ekstrem menyebutkan bahwa 3 tahun pertama setelah kelahiran adalah waktu penentuan sebelum seorang anak mengalami yang disebut dengan istilah “separation” dan “individuation” (yang dikembangkan dari struktur mental Sigmund Freud). Anak yang mulai menjauh dari kelekatan dengan pengasuh. Dalam hal ini, Mahler menekankan bahwa kesuksesan pengasuh dalam mendidik anak berada di bawah bayang-bayang tiga tahun pertama ini.
Lain halnya Erikson dalam “Childhood and Society” (1963), ia mengidentifikasi dua hal penting dalam tahap perkembangannya. Pertama, tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt, 3-6 tahun). Pada tahap ini anak akan mulai berinisiatif belajar mencari pengalaman baru, secara aktif dalam melakukan aktivitasnya melaui kemampuan indranya. Hasil akhir yang diperoleh adalah kemampuan untuk menghasilkan sesuatu sebagai prestasinya. Apabila dalam tahap ini anak dilarang atau dicegah maka akan timbul rasa bersalah pada diri anak. Kedua, tahap tekun versus rasa rendah diri (industry versus inferiority, 6-12 tahun). Pada tahap ini anak akan belajar untuk bekerja sama dan bersaing dalam kegiatan akademik maupun dalam pergaulan melalui permainan yang dilakukan bersama. Anak selalu berusaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan sehingga anak pada usia ini rajin dalam melakukan sesuatu. Apabila dalam tahap ini anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkungannya dan anak tidak berhasil memenuhinya, maka akan timbul rasa rendah diri. Oleh karena itu, penguatan dari orang tua atau pengasuh menjadi penting untuk menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu. Hal inilah yang kemudian dikembangkan oleh Staats (1996) bahwa kata-kata atau emosional pengasuh memberi banyak sumbangsih bagi kesehatan jiwa dan emosi anak. Staats mengembangkan prinsipreinforcement, juga reward and punishment. Dan hal ini berlaku bagi anak di usia sekolah dasar ke bawah.
Piaget (1952) menjelaskan bahwa perkembangan anak muncul dalam periode pra-operasional (usia 2–7 tahun). Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit. Pada tahap ini pemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat objek-ojek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula. Anak dalam tahap ini, masih berada pada tahap pra-operasional belum memahami konsep kekekalan (conservation), yaitu kekekalan panjang, kekekalan materi, luas, dan sebagainya. Selain dari itu, ciri-ciri anak pada tahap ini belum memahami dan belum dapat memikirkan dua aspek atau lebih secara bersamaan. Piaget yang menawarkan konsep perkembangan psikologi kognitif yang kemudian ‘dikembangkan’ oleh Vygotsky.
Vygotsky (1980) berpendapat bahwa anak-anak mengembangkan konsep-konsep lebih sistematis, logis, dan rasional sebagai akibat dari percakapan dengan seorang penolong yang ahli. Ia memandang perubahan dalam situasi sosial perkembangan sebagai mekanisme yang memajukan perkembangan dengan memberikan piranti mental yang baru dan lebih maju yang terus membentuk kemampuan anak yang berkembang. Pencapaian perkembangan dan kegiatan utama menurut pandangan Vygotsky pada periode usianya yang asli disempurnakan dan diperluas untuk membentuk teori perkembangan anak. Teori ini berisi tahap-tahap yang ditentukan dengan jelas bersama penjabaran mekanisme yang mendasari perpindahan anak dari satu tahap ke tahap berikutnya (Karpov, 2005).
Vygotsky mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural (Holland, dkk., 2001). Ia percaya bahwa perkembangan memori, perhatian dan nalar melibatkan pembelajaran untuk menggunakan alat yang ada dalam masyarakat, seperti bahasa, sistem matematika dan strategi memori. Dalam satu kultur, ini mungkin berupa pembelajaran berhitung dengan menggunakan komputer. Di kultur lain, ini mungkin berupa pembelajran berhitung menggunakan batu atau jari.
Teory Vygotsky menarik banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif (Bearison dan Dorval, 2002, Maynard, 2001). Artinya pengetahuan didistribusikan di antara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, artefak (benda-benda buah kecerdasan manusia), alat, buku dan komunitas di mana orang berada. Ini menunjukkan bahwa memperoleh pengetahuan dapat dicapai dengan baik melalui interaksi dengan orang lain dalam kegiatan bersama.
Bilamana dirangkum, keseluruh tahapan versi para peneliti di atas, erat kaitannya dengan tugas perkembangan yang ditawarkan oleh Havighurst (1953). Ia menyebutkan manusia memiliki tugas-tugas perkembangan selama hidupnya. Tugas-tugas perkembangan manusia di usia anak antara lain belajar ketangkasan fisik untuk bermain, pembentukan sikap yang sehat terhadap diri sendiri sebagai organisme yang sedang tumbuh; belajar bergaul yang bersahabat dengan anak-anak sebaya; belajar peranan jenis kelamin; mengembangkan dasar-dasar kecakapan membaca, menulis, dan berhitung; mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan guna keperluan kehidupan sehari-hari; mengembangkan kata hati moralitas dan skala nilai-nilai; belajar membebaskan ketergantungan diri; mengembangkan sikap sehat terhadap kelompok atau suatu instansi.
Membaca Pola Perkembangan Naya dan Gerak Literasi
Di buku RMJR ini selain membaca teks-teks yang ditulis Naya, pembaca juga disuguhi dengan ilustrasi yang dimunculkan. Barangkali untuk menemani berdirinya puisi-puisi Naya atau sebagai petunjuk proses kreatif, bahwasanya Naya tidak hanya belajar menulis dan membaca. Ia juga berproses dalam coret-coretan tinta berwarna. Bila diamati pola-pola gambar/coretan Naya, gambar orang yang tidak detail dan lengkap mempunyai kaitan dengan tanda perkembangan anak. Indra anak ketika melalui sensasi kemudian persepsi mempunyai batasan untuk berkembang. Dalam hal ini dapatlah diperhatikan gambar Naya di kover buku. Dari gambar tersebut ditorehkannya orang dengan wajah yang belum lengkap, tangan dan kaki yang belum detail, dan ‘keramaian’ sebuah tempat. Akan berbeda jika orang dewasa yang menggambar (contoh dalam kover), maka orang dewasa tersebut diduga mengalami infantil atau memiliki sifat kekanak-kanakan, trauma masa kanak yang belum sembuh, dan sebagainya. Selain itu juga memungkinkan adanya regresi atau kemunduran perkembangan karena belum dapat menyelesaikan tugas-tugas perkembangan pada masa kanak.
Pertanyaan yang muncul kemudian, setelah buku ini muncul di tengah pusaran buku-buku yang rata-rata ditulis oleh kaum remaja ke atas adalah apakah teks-teks Naya dapat dikonsumsi oleh anak-anak sepantarannya? Mengamati situasi literasi yang payah menjangkiti masyarakat Indonesia dengan catatan bahwa beginilah kondisi literasi terkini di Indonesia, terlepas dari budaya literasi yang barangkali tidak sekental di benua Eropa dan Amerika.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/11/12/8/ngm3g840-inilah-alasan-siswa-sulit-menulis-cerpen (3 Maret 2017). |
Data tersebut baru berbicara seputar literasi, bagaimana jika kemudian ditelisik lebih dalam tingkatbaca masyarakat terhadap buku puisi dan terlebih buku-buku anak (lokal) yang tertumpuk berondongan buku-buku anak terjemahan yang diyakini ‘produknya’ lebih berkualitas? Tentu tidak bisa kita bayangkan ‘kengeriannya’. Adalah sebuah keniscayaan bagi semua kalangan untuk turut serta menanggulangi fenomena yang barangkali akan mewujud “bencana literasi” ini.
Apakah teks-teks Naya dapat dikonsumsi oleh anak-anak sepantarannya? Adalah pertanyaan yang juga dapat berkelindan dengan pengajaran sastra dan bahasa di kelas-kelas sekolah dasar. Sastra anak berkontribusi membentang dari dukungan terhadap pertumbuhan berbagai pengalaman (rasa, emosi, bahasa), personal (kognitif, sosial, etis, spiritual), eksplorasi dan penemuan, namun juga petualangan dalam kenikmatan (Nurgiyantoro, 2005). Seyogianya, kalangan akademisi mulai menyadari ini dengan adanya pencanangan GLI (Gerakan Literasi Sekolah) yang dinanti-nanti.
Teks yang ditulis oleh Naya ini berbeda dari teks kebanyakan anak di umur yang sepantaran dengan Naya. Artinya, Naya mempunyai kebutuhan khusus untuk terus-menerus diperhatikan oleh pengasuhnya (jika tidak, misalnya Naya berada di pengasuh berbeda yang tidak sedemikian caranya, maka hasilnya barangkali akan jauh berbeda). Perbandingan Naya dengan anak-anak sepantarannya barangkali cukup jauh, buku antologi puisi Tiba-tiba Kulihat Cahaya adalah satu-satunya buku antologi anak sekolah dasar (yang rata-rata duduk di kelas V dan VI) yang saya dapatkan.
Bundanya, Yona memaparkan dalam ‘pengantar’ bahwa ia menemukan proses kreatif Naya dalam menulis: “Cara Naya mengeksplorasi benda-benda di sekitar untuk bisa menemukan sebuah metafora, sungguh menggugah. Meraba-raba permukaan, memperhatikan setiap sisi dengan saksama, menyandingkan dua atau tiga benda untuk kemudian mengamati dengan serius, membolak-balik halaman buku, atau sekadar bertanya untuk memastikan sifat, adalah hal-hal yang selalu dilakukan Naya sebelum menuliskan metafor”. Proses semacam ini barangkali jarang dijumpai dalam diri anak lainnya. Artinya, bahwa Naya adalah bagian dari sedikit anak yang bisa mengenal ‘cara menulis’ secara lebih dini dan lebih dalam. Tentu, pola semacam ini bisa terjadi setelah adanya interaksi secara intensif antara ibu (orang tua) dan anak. Bagaimana orang tua bisa menemukan diri kreatif anak melalui jalan literasi atau bagaimana anak kemudian bisa dengan rasa keingin-tahuan yang besar hendak bereksplorasi jalan literasinya itu. Semua ini berporos pada dukungan orang tua maupun pengasuh. Lebih lanjut, Yona menerangkan bahwa kemampuan Naya dipertajam dengan berbagai bentuk permainan yang dikenalkan oleh mentor menulis Naya paling awal. Artinya, ini adalah sebuah keseriusan. Keseriusan untuk membiasakan, untuk mempolakan, untuk menggemari passion literasi: menulis, membaca, bercerita, dan bermain.
Bagaimana Proses Kreatif dalam Literasi Bekerja
Dalam puisi “Bertemu Om Saut” (hal.51), pembaca barangkali dapat melihat bagaimana Naya menuliskan urutan peristiwa ketika berjumpa dengan seseorang. Namun begini saya menuliskannya:
“Malam itu di UIN aku melihat lelaki berambut tali tambang tercelup tinta. Ketika ia bicara suaranya seperti suara sinterklas. Di matanya ada seekor harimau melotot. Saat seseorang selesai membaca puisi dia mengajakku ke panggung. Aku gembira. Para penonton memanggil namaku, sampai di panggung dia pendekkan mik. Saat aku membacakan puisi Polar Express dia mendengarku dengan serius sama dengan bundaku. Saat aku selesai dia ulurkan tangan untuk bersalam dengan cepat seakan membalap dan berjalan dengan cepat. Saat aku kembali duduk, dia membacakan puisinya sangat bagus, lama kelamaan aku mengantuk dan berpamitan dan pulang.”
Saya setuju jika tulisan Naya ditulis ulang dengan tipografi seperti di atas, maka Naya sedang menulis cerita, bukan puisi. Cerita yang di dalamnya dibumbui dengan 4 majas (yang bertanda highlight). Tulisan tersebut ditulis pada tahun 2016, di umur 7 tahunnya. Kisah pertemuan Naya dengan penyair Saut Situmorang yang dikemas dengan bahasa anak maka kurang lebih akan menjadi demikian, tentu berbeda jika orang dewasa yang menulis. Tulisan-tulisan Naya sarat dengan majas yang barangkali bisa membuat pembaca takjub. Di lain hal, sebagian tulisan Naya juga dipengaruhi selepas persentuhan Naya dengan film, bacaan, dan pertemuan.
Lalu apa yang membedakan persentuhan tersebut, semisal ada anak lain yang bersentuhan dengan film, bacaan, dan pertemuan? Adalah ajakan untuk menulis dan mentor yang memiliki kompetensi di bidangnya. Di sinilah proses kreatif bekerja. Naya mulai mempelajari dorongan-dorongan untuk berkarya dalam ‘aplikasi permainan’ yang telah dirancang ibunda-nya. Berbagai narasumber bisa kita tebak ketika membaca puisi demi puisi yang ditulis Naya. Narasumber itu bisa berwujud apa saja, namun porosnya tetap pada ‘kitab’ yang dipegang oleh ibunda-nya.
Penutup
Bagaimana pun, Naya telah didorong untuk berani membuat resep tentang jagat rayanya sendiri. Jagat raya yang kosa katanya dibangun oleh material-material persentuhan dirinya dengan ‘kitab aplikasi’ yang telah dirancang dalam jaring tawar-menawar pengasuhnya, Ibunda-nya. ‘Kitab aplikasi’ ini adalah salah satu contoh pembelajaran dalam berliterasi sejak dini (sekaligus berfungsi sebagai sebuah panduan dalam mengerjakan tugas-tugas perkembangan). Pembelajaran yang mengusung karakter, menomor-sekiankan pola-pola mainstream dalam mendidik, mencoba hal-hal yang jarang ditempuh para pengasuh. Demikianlah semoga ini juga bisa menjadi pacuan untuk orang dewasa atau orang lain untuk belajar berpikir kanak-kanak. Selain mulai menanam keyakinan bahwa aktivitas membaca-tulis di era sekarang bukanlah aktivitas yang berjarak, namun perlu diperjuangkan. Sebuah penggalan puisi yang patut menjadi semacam renungan bahwa pola pikir anak adalah pola pikir yang sudah terkonstruksi (sebagaimana yang digagas oleh teori perkembangan sosial Vygotsky) yang tidak lepas dari pengasuhnya: “Kenapa aku/ suka membaca? Biar pintar seperti bunda.”(“Ketika Aku Membaca Buku”, hal. 34).
Ganjar Sudibyo,
seorang penulis dan penikmat bacaan,
saat ini masih merangkap sebagai pekerja buku.
Rekomendasi Bacaan
- Piaget, J. 1952. The origins of intelligence in children (Vol. 8, No. 5, pp. 18-1952). New York: International Universities Press.
- Vygotsky, L. S. 1980. Mind in society: The development of higher psychological processes. Harvard university press.
- Cooper, P. A. (1993). Paradigm Shifts in Designed Instruction: From Behaviorism to Cognitivism to Constructivism. Educational technology, 33(5), 12-19.
- Staats, W. W. 1996. Behavior and personality: Psychological behaviorism. Springer Publishing Company.
- Erikson, E. H. 1993. Childhood and society. WW Norton & Company.
- Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- htttp://www.learning-theories.com
- http://www.simplypsychology.org/classical-conditioning.html
- http://www.margaretmahler.org/
- Jamela, Abinaya Ghina. 2017. Resep Membuat Jagat Raya. Padang: Kabarita.
Leave a Reply