Abinaya Ghina Jamela

19 Oktober 2015 silam, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah workshop yang digagas oleh APISI dan IFLA di Putri Duyung Resort, Ancol. Tentang Naya, saya tidak memiliki pilihan dan mesti membawanya ikut serta dalam kegiatan yang berlangsung selama empat hari tersebut. Sejak menetap di Bandung, saya belajar untuk tidak menggunakan jasa baby sitter atau Nanny untuk menjaga dan merawat Naya. Alasannya sederhana, saya berkeinginan, saya juga Naya tidak bergantung terlalu besar pada orang lain dan agar kami memiliki waktu bersama lebih banyak lagi untuk saling belajar. Saya ingin Naya mandiri serta mengerti bahwa di luar sana, di dunia nyata dia hanya boleh mengandalakan dirinya sendiri dan sesekali saya, tidak orang lain, tidak siapa pun.

Bagaimana pun, ini merupakan pengalaman pertama bagi saya membawa Naya dalam sebuah pelatihan. Sebelumnya, Naya memang hampir selalu saya ikutsertakan pada setiap kegiatan saya. Baik mengisi pelatihan, revitalisasi perpustakaan, maupun audiensi dan promosi kegiatan lainnya. Sejauh ini, Naya begitu kooperatif. Tentu saja, sebelum berangkat kami selalu membuat perjanjian mengenai hal-hal apa yang harus dihindari dan sebaiknya tidak dilakukan. Naya termasuk anak yang tepat janji. Begitu pun kali ini.
Naya kemudian menuliskan di Jurnal Hariannya mengenai beberapa hal yang harus dipatuhinya.

Kami berangkat dari Jatinangor pukul 05.30 pagi. Sebelum tidur saya sudah meminta Naya untuk bangun lebih awal, jadi tidak terlalu menyulitkan saya untuk mempersiapakan segala sesuatu. Perjalanan kami hingga sampai di Tanjung Barat, Jakarta cukup menyenangkan. Meskipun sesampainya di Jakarta, udara panas langsung menyergap dan merubah roman muka Naya. Setiap saya tanya: are you ok, dear? Naya akan mengangguk sambil tersenyum. Ah, senyum dan pelukannya memang selalu menguatkan saya, bahkan ketika saya berada dalam masa sulit dan merasa tidak mampu untuk melewati banyak hal. Saya mengajukan penawarn dan Naya memilih untuk nail KRL. Lanjutnya, Naya sudah lama gak naik kereta apa, Nda.

Hari pertama kegiatan, Naya sangat antusias. Dia duduk di sebelah saya, asik dengan buku gambar dan pensil warnanya. Sesekali ketika mulai jenuh menggambar, dia akan membolak-balik buku ensiklopedia. Naya membuat saya sibuk? tidak. Naya membuat saya cemas dan khawatir? juga tidak. Di beberapa kesempatan, justru Naya yang paling antusias meminta saya untuk lebih aktif di ruang kelas. Barangkali menjadi sebuah kebanggaan bagi seorang Naya ketika melihat saya, ibunya, berbicara dan bertanya banyak hal dalam sebuah diskusi. Alih-alih meminta saya untuk aktif, Naya bahkan tanpa segan mengacungkan jarinya dalam sebuah sesi dan mengajukan pertanyaan pada pembicara. Pertanyaan Naya hari itu sederhana: di Bandung, Naya punya Rumah Kreatif Naya. Apakah buku-bukunya bisa disumbangkan untuk Rumah Kreatif Naya? biar teman-teman Naya yang datang makin banyak.

Damn!, jidat saya serasa ditoyor-toyor oleh keberanian Naya. Betapa tidak, Naya adalah salah satu dari dua orang anak kecil yang hadir dan mengikuti forum tersebut dan dia memiliki nyali untuk bertanya di depan banyak orang. Dan dia tanpa malu atau segan, mempromosikan dan menceritakan betapa keren perpustakaan miliknya. Saya yakin, saya tidak memiliki itu ketika seusia Naya.

Bukan hanya itu, ketika Naya mengetahui bahwa salah seorang pemateri, Ibu Rashidah Begum menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, Naya serta merta memaksa saya untuk membantu dia memperkenalkan dan mendeskripsikan dirinya pada beliau. Naya sangat ingin berbicara dengan ibu Rashidah. Katanya, biar Naya bisa belajar Bahasa Inggris trus siapa tahu nanti Naya bisa cepat-cepat ke luar negeri.
Damn! double strikes buat saya. Saya pun merangkap menjadi penerjemah bagi Naya dan ibu Rashidah. Mereka malah sempat saling bertukar cendera mata. Apa yang diberikan Naya pada bu Rashidah? Stiker Rumah Kreatif Naya. You are really a smart girl, dear!
Naya sungguh-sungguh menepati janji dan membuat saya bangga.