*Untuk teman-teman Naya yang masih tetap berjualan di persimpangan lampu merah kota Yogyakarta.
Beberapa bulan ini, Gendhis makin sering menghabiskan waktunya di persimpangan lampu merah. Dia di sana sejak pagi hingga malam. Gendhis tak punya pilihan. Apalagi dia tidak bisa pergi ke sekolah, bertemu dengan teman-teman, dan bermain bersama mereka seperti biasa. Jadi, lebih baik Gendhis membantu ayah dan ibunya yang lagi kesusahan saja.
Persimpangan lampu merah itu letaknya cukup jauh dari rumah Gendhis. Ia harus berjalan kaki sekitar 15 menit untuk sampai ke sana. Gendhis sengaja memilih perempatan lampu merah itu meski letaknya cukup jauh dari rumahnya. Di sana sangat ramai. Kendaraan yang berhenti ketika lampu berganti warna menjadi merah cukup banyak. Jadi bakalan banyak orang yang membeli kerupuknya.
Gendhis duduk di trotoar di persimpangan lampu merah itu ketika lampu berwarna hijau. Jika lampu jalan berubah warna menjadi merah, Gendhis akan cepat-cepat berdiri, mengangkat kantung besar itu dan meletakkannya di punggung, lalu menawarkan kerupuknya dari satu jendela mobil yang tertutup ke jendela mobil tertutup lainnya. Gendhis kepingin ada orang yang menurunkan kaca jendela mobil mereka untuk membeli kerupuk-kerupuk miliknya.
Ghendis sudah berjualan di lampu merah itu sejak lama. Dia sudah di sana sejak masih duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Sekarang, dia sudah kelas enam. Persimpangan lampu merah itu seperti taman bermain buat Gendhis. Jika biasanya Gendhis berjualan siang hari sepulang sekolah, tapi sejak beberapa bulan terakhir dia berjualan pagi-pagi sekali, pukul setengah tujuh hingga malam.
Sudah setahun lebih sekolah Gendhis tutup. Gurunya bilang, anak-anak tidak boleh ke sekolah. Mereka hanya boleh belajar di rumah. Tentu saja, mereka harus belajar menggunakan handphone atau laptop. Tentu saja Gendhis tidak punya handphone, apalagi laptop. Untuk makan saja mereka harus menunggu Bapak pulang kerja sebagai buruh bangunan, atau ada kerupuk buatan Ibu Gendhis yang terjual. Agar tidak tertinggal dari teman-temannya, Gendhis terpaksa setiap pagi datang ke sekolah menjemput tugas yang harus dikerjakannya, dan mengantarkannya lagi ke sekolah sebelum berangkat berjualan.
Tapi sejak kejadian pagi itu, Gendhis sudah jarang datang ke sekolah, apalagi mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. Dia memilih berjualan saja di persimpangan lampu merah. Sekolah tidak membantu apa-apa, pikir Gendhis.
Gendhis sedang asik mengerjakan tugas-tugas sekolahnya saat ayahnya yang bekerja sebagai buruh bangunan, pulang dengan wajah sedih dan kesal. Padahal ayahnya baru saja berangkat sekitar dua jam yang lalu. Ibunya yang sedang mengurus kedua adiknya yang masih kecil heran.
“Aku dipecat, Bu!” Kata Ayah Gendhis dengan wajah sedih sambil meletakkan alat-alat tukangnya di lantai.
“Kenapa bisa?” tanya Ibu Gendhis heran.
“Aku tadi nggak pakek masker. Nggak taunya bos dateng dan liat aku nggak pake masker. Dia bilang aku ngeyel, nggak taat aturan, nggak patuh protokol kesehatan” jawab Ayah Gendhis.
“Mosok sih gara-gara nggak pake masker kamu dipecat, Pak? Piye tho, Pak, kita mau makan apa?” Ibu Gendhis memasang wajah kesal.
Gendhis sudah tahu apa yang akan terjadi: Ibu akan cerewet panjang lebar, tidak lupa menyalahkan Ayahnya, menghitung pengeluaran mereka setiap hari, mengeluhkan uang yang tidak ada untuk makan atau bayar listrik. Gendhis membereskan buku-bukunya dan berlari ke luar rumah. Mereka pasti ribut besar.
Sejak kejadian itu, Gendhis hampir tidak pernah lagi datang ke sekolah. Gurunya juga tidak bertanya atau mencari Gendhis. Mungkin mereka sama sibuknya dengan Gendhis. Gendhis lebih memilih berjualan kerupuk saja. Dia bisa berangkat ke persimpangan lampu merah lebih pagi dari biasanya. Apalagi akhir-akhir ini orang yang membeli kerupuk dari Gendhis tidak sebanyak biasanya.
Jangankan membeli kerupuk, orang-orang seperti takut menurunkan kaca jendela mobil mereka. Mereka mungkin takut kalau-kalau Gendhis membawa virus. Padahal sebelum berangkat, Gendhis selalu mandi. Gendhis juga tidak pernah melepaskan maskernya selama berjualan. Tapi orang-orang tetap tidak mau menurunkan kaca jendela mobil mereka.
Sudah tidak banyak orang yang mau berbelanja dari penjual di jalanan seperti Gendhis. Kalaupun ada, mungkin karena mereka merasa kasihan. Mereka lebih suka membeli kerupuk dari toko-toko besar atau supermarket dan mall. Meskipun tentu saja harganya berkali-kali lipat lebih mahal. Padahal, kerupuk buatan Ibu Gendhis tidak kalah enak dibanding kerupuk di toko-toko besar itu.
Pagi itu Gendhis berangkat ke lampu merah untuk menjual kerupuk-kerupuk buatan Ibunya. Tidak seperti anak-anak lain seusianya, Gendhis tidak pernah terlihat marah atau kesal. Dia selalu menerima tugas itu dengan gembira. Dia sudah terbiasa. Gendhis juga terlihat memakai masker medis berwarna putih kebiru-biruan dan menenteng kantung plastik bening besar berisi kerupuk di punggungnya.
Jika biasanya Gendhis menelusuri jalan-jalan yang masih sepi sendirian sambil bernyanyi dan meloncat-loncat kecil di trotoar. Sejak kejadian pagi itu, dia berangkat ke persimpangan lampu merah bersama ayah dan salah satu adiknya. Ayah Gendhis memakai kostum Doraemon super besar yang membuatnya terlihat konyol. Adiknya bertugas membawa sebuah alat pengeras suara dan radio kecil.
Sesampainya di persimpangan lampu merah, Gendhis akan duduk di salah satu sisi trotoar jalan. Sementara ayah Gendhis terlihat berjoget-joget mengikuti suara musik yang super kencang di tengah jalan, seakan-akan ayahnya mau menghadang semua mobil yang akan lewat. Gendhis akan pergi berkeliling menawarkan kerupuk buatannya kepada orang-orang di dalam mobil ketika lampu lalu lintas di atas kepalanya menyala merah.
Sesekali, Gendhis melihat anak-anak yang asik tertawa bersama ayah dan ibu mereka di dalam mobil, atau anak-anak yang asik dengan telepon genggam mereka, atau anak-anak yang sibuk mengunyah camilan kesukaan mereka. Gendhis kadang-kadang membayangkan menjadi anak-anak itu. Tentu saja di dalam mobil itu enak sekali. Udaranya sejuk karena ada pendingin mobil. Tidak seperti di persimpangan lampu merah yang panas, terik, berdebu dan bau asap. Pasti kursi mobil mereka empuk, tidak seperti trotoar yang bisa membakar pantatnya ketika matahari menyala terik. Camilan mereka pasti enak dan nikmat. Musik yang mereka dengarkan juga pasti merdu, tidak seperti suara cempreng dari speaker murahan yang diputar adiknya setiap lampu menyala merah.
Gendhis iri melihat anak-anak itu. Gendhis selalu bertanya-tanya, bagaimana rasanya menjadi orang kaya. Apakah menyenangkan? Tapi, lagi-lagi Gendhis hanya bisa bermain di trotoar, menunggu lampu kembali berwarna merah lalu berkeliling menawarkan kerupuk buatan Ibunya. Di seberang jalan, suara musik cempreng itu terdengar kembali. Gendhis melirik ayahnya yang berjoget-joget dengan begitu konyolnya. Di dalam kostum itu, ayahnya pasti kepanasan. Mungkin ayahnya juga kehausan luar biasa. Gendhis sedih.
Dia membayangkan Ibu dan adiknya di rumah. Ibunya sedang sakit. Sudah tiga hari Ibu panas tinggi. Ibunya juga mengeluh sesak napas. Tapi mereka tidak bisa membeli obat apalagi ke dokter. Mereka tidak punya uang. Lagipula, jika dibawa ke rumah sakit, Ibunya pasti dipaksa untuk diisolasi. Lalu siapa yang akan mengurus adiknya yang paling kecil ketika mereka bekerja di persimpangan lampu merah? Tidak mungkin membawa anak berumur 10 bulan itu ke perempatan lampu merah. Itu hanya akan merepotkan mereka.
Lampu kembali menyala merah. Gendhis bergegas berdiri, memperbaiki maskernya, membawa karung plastik bening besar berisi kerupuk, mendekati kaca-kaca mobil yang tertutup rapat. Hari ini dia belum bisa menjual sebungkus kerupuk pun. Padahal hari sudah sore. Gendhis berharap ada orang baik hati yang mau membeli semua kerupuknya. Dia ingin membelikan obat dan makanan enak untuk Ibunya (AGJ).
Leave a Reply