Aku sering kali mendapat pertanyaan, Apa yang bikin Naya suka membaca dan menulis? Karena sering mendapat pertanyaan semacam itu, kupikir itu hal yang penting dan perlu untuk dituliskan. Tapi tentu saja aku perlu bercerita sedikit mengenai masa kecilku, ketika masih berumur tiga atau empat tahun.
Bunda bilang, saat masih kecil sekali, aku seperti anak-anak lainnya: suka bermain handphone, dan menonton tivi. Bahkan aku melakukannya hingga larut malam. Nenek dan Datuk juga bilang jika aku sering tertidur di depan tivi. Aku seperti tidak bisa lepas dari gawai, menonton tivi, atau bermain game. Aku akan menangis dan marah jika tidak boleh melakukannya. Begitu yang Bunda, Om, Datuk, Nenek, Menji, dan Iin katakan berulang-ulang.
Tapi ketika umurku lima tahun, Bunda mulai membatasiku menggunakan gawaiku. Oh, seperti bukan membatasi, tapi melarang. Ya, Bunda dan Om melarangku menggunakannya! Aku sama sekali tidak boleh memegang handphone dan remot tivi.
Sebenanrya aku tidak tahu bagaimana cara Bunda dan Om melakukannya. Biar saja mereka yang menjelaskannya, itu urusan orang dewasa. Tapi Bunda dan Om bilang jika aku bisa menangis berguling-guling, berjam-jam, hingga mukaku merah dan suaraku habis, jika aku tidak diberikan handphone atau remot tivi. Aku pikir itu sungguh memalukan dan kekanak-kanakkan.
Sepertinya, aku juga cukup menyulitkan Bunda dan Om, karena aku melihat banyak anak kecil yang menangis, marah, bahkan berteriak-teriak ketika mereka tidak diperbolehkan menggunakan handphone atau menonton tivi. Sudah tentu aku juga seperti mereka. Jadi aku pikir, Om dan Bunda sudah melakukan hal yang ajaib dan luar biasa. Tapi apakah kalian tahu jika Bunda dan Om juga punya trik yang sangat brilian? Aku bilang brilian, karena ternyata itu berhasil. Ya, itu berhasil untukku!
Mereka mengajakku bermain dan melakukan hal-hal seru dan menyenangkan. Aku diajak menggambar, melukis, memasak, berkebun, berjalan-jalan, berpetualang ke sawah, ke sungai, ke hutan. Bunda dan Om juga memberiku banyak kerjaan yang membuat aku melupakan gawaiku. Aku harus membersihkan kamarku, merebus air, bikin sarapanku sendiri, menyiram tanaman, menyapu rumah, hingga membantu Bunda memasak. Aku memang suka memasak, sih!
Aku juga diajarkan membaca. Sebenarnya aku sudah tahu huruf-huruf, tapi saat itu aku belum bisa membaca dengan lancar. Kami juga sering berlomba membaca spanduk, papan pengumuman, atau iklan-iklan yang kami temukan di perjalanan. Aku lama-lama jadi tahu jika Bunda dan Om sering berpura-pura kalah dalam perlombaan itu dengan alasan jika mata mereka sudah tua dan tidak bisa membaca dengan jelas. Mereka eperti berusaha membuatku terlihat keren dan hebat karena bisa mengalahkan orang dewasa.
Aku juga mulai belajar menulis. Oh, jangan Tanya bagaimana bentuk tulisanku. Kamu mungkin masih bisa menemukannya di buku Resep Membuat Jagat Raya. Menurutku, hanya aku yang bisa membacanya karena tulisan itu terlalu jelek dan berantakan.
Suatu hari, Bunda memberiku kejutan. Aku mendapat kado yang isinya buku tulis dan pensil. Bunda memberi nama buku itu, jurnal. Menurutku, sih, itu hanya buku tulis biasa yang diberi nama sedikit keren.
Bunda dan Om bilang jika aku harus menuliskan hal-hal yang aku alami setiap hari di jurnal itu. Tidak peduli itu menyenangkan, menyedihkan, memalukan atau menyebalkan. Aku hanya harus belajar menuliskannya dengan jujur. Om bilang, ingatan manusia itu terbatas. Jadi biar aku tidak lupa, aku harus mencatatnya.
Tentu saja menulis bukan hal yang benar-benar menyenangkan. Apalagi waktu itu tulisanku masih jelek sekali. Ya, sekarang juga nggak bagus-bagus amat, sih! Tapi aku tetap harus menuliskannya di halaman jurnalku. Awalnya aku hanya bisa menulis satu kalimat pendek saja. Aku masih ingat tulisanku itu: aku dimarahi bunda karena telat bangun.
Lama kelamaan, menulis jurnal jadi mengasikkan. Aku bisa menceritakan apa saja di dalam jurnalku: tentang temanku yang nakal, sangkar burung yang jatuh dari pohon mangga di depan rumah, bunga mawarku yang layu di halaman, atau masakan bunda yang tidak enak. Tentu saja Bunda dan Om tidak akan memahariku meski aku menulis hal yang tidak menyenangkan tentang mereka. Kan mereka yang minta jika aku harus menulis dengan jujur?
Oh ya, apakah kalian tahu jika aku juga diijinkan mencoret-coret dinding kamarku? Bahkan kami melakukannya bersama-sama. Om memang paling jago menggambar di antara kami bertiga. Gambarnya pasti lebih bagus dari gambarlku atau gambar Bunda.
Tentu saja dinding kamarku dipenuhi dengan gambar yang aneh-aneh dan tulian-tulisan. Gambar-gambar di dinding kamar itu yang membuatku bisa menulis dan menerbitkan novel pertamaku, Rahasia Negeri Osi. Sebenarnya aku memulai projek novelku itu saat aku duduk di kelas dua. Semua diawali oleh gambar-gambar di dinding kamarku.
Karena dinding kamarku dipenuhi oleh coretan, Om lalu punya ide. Katanya, agar gambar-gambar kita tidak jadi sia-sia. Bunda lalu memberikan dan menempelkan dua kertas kosong ukuran besar bagian di dinding yang belum ada gambarnya. Aku diminta memindahkan gambar-gambar di dinding ke dalam kertas dalam versi mini. Aku juga diminta untuk menuliskan deskripsi dan narasi dari gambar-gambar itu: mengapa hidungnya bulat, mengapa rambutnya hijau, mengapa matanya berwarna merah, mengapa badannya kecil sekali, dan hal-hal lainnya.
Rasanya menyenangkan sekali. Aku seperti membuat dunia baru di kamarku. Aku memberinya nama, Osi. Tetapi, karena aku kebosanan menulis novel itu, aku beralih menulis cerpen dengan tokoh utama Alinka. Tidak disangka-sangka, ternyata buku cerpen yang diterbitkan lebih dulu.
Tentu saja untuk bisa menulis, aku juga harus banyak membaca. Membaca bisa memberikanku ide-ide baru. Awalnya aku hanya suka membaca komik. Aku punya banyak sekali komik Doraemon dan Detektif Conan. Aku menyukai komik Doraemon karena aku pikir, penulisnya sangat cerdas. Dia bisa memikirkan hal-hal mengenai masa depan melalui seekor kucing biru. Aku suka komik Detektif Conan karena aku jadi belajar mengamati dan menyelidiki banyak hal. Kita tidak boleh percaya begitu saja. Kita harus menyelidiki dan mencari tahu, seperti yang dilakukan Conan.
Aku juga membaca buku-buku non fiksi seperti ensiklopedia dan buku sejarah. Meski aku menulis fiksi, tulisanku harus tetap logis. Tulisanku tidak boleh asal-asalan. Tapi aku tetap lebih menyukai membaca novel terjemahan. Aku suka mempelajari bagaimana penulis menuliskan idenya menjadi cerita yang menarik.
Jadi menurutku, membaca dan menulis itu tidak datang begitu saja. Bunda dan Om membiasakannya sejak kecil, lewat permainan, berjalan-jalan, buku-buku bagus atau hal menyenangkan. Dan aku pikir, tidak ada anak-anak yang tidak suka membaca dan menulis.
Aku juga punya banyak alasan kenapa aku harus menulis. Bayangkan jika otakmu adalah sebuah gelas, dan air yang dituangkan ke dalam gelas adalah pengetahuan dari buku yang kamu baca atau film yang kamu tonton,. Jika kamu menuangkan air terus menerus kedalam gelas, gelas akan terisi penuh oleh air dan air akan tumpah. Begitu pula dengan otak kita. Kita tidak bisa terus menerus menyimpan pengetahuan kita di dalam otak. Kita harus menuliskannya. Kita juga harus berbagi pengetahuan kepada orang lain.
Selain itu, mungkin ada yang bertanya, bagaimana cara menulis? Untukku, menulis, ya menulis! Tapi, sebelum menulis, kita harus banyak membaca, harus banyak mengamati, harus melakukan riset. Karena, jika kita tidak membaca, kita tidak tahu harus menulis apa. Di dalam buku terdapat pengetahuan-pengetahuan yang karena begitu banyaknya tidak bisa diingat oleh manusia itu sendiri. Selain itu, kita juga harus peka terhadap lingkungan sekitar, memerhatikan banyak hal di sekitar kita. Setiap hal bisa menjadi ide cerita, ide tulisan (AGJ).
Leave a Reply