Ini pertama kalinya Naya bicara di sebuah acara tanpa ada bunda di samping Naya. Selain Naya, ada tiga pembicara lainnya. Bapak Dedi Yon Supriyono (Walikota Tegal), Tante Laura Prinsloo (Ketua Komite Buku Nasional), dan Bapak Sheikh Faisal Sheikh Mansor dari World Book Capital City, Kuala Lumpur. Untuk pembicara pertama, Bapak Walikota Tegal diberi waktu lima belas menit untuk presentasi oleh moderator. Naya mendapat giliran yang terakhir. Mungkin karena Naya masih anak-anak dan Naya tidak akan bicara terlalu banyak.
Saat tiba giliran Naya untuk berbicara, Naya awal mengira ada sesi tanya-jawab seperti acara-acara sebelumnya. Dan jantung Naya serasa mau copot karena Om Atih bukannya memberikan Naya pertanyaan malah berkata ‘Silahkan, waktu Naya lima belas menit untuk presentasi’. Naya sempat tidak mengingat apa-apa yang harus Naya sampaikan selama beberapa detik. Otak Naya mendadak tidak mau bekerjasama seperti anak-anak yang protes pada semua aturan dari orangtua mereka. Naya berusaha memikirkan apa yang harus Naya sampaikan. Naya tidak mau terlihat seperti orang yang tersesat dan tidak tahu apakah harus berbelok ke kiri atau ke kanan. Naya mencoba untuk bicara dengan perlahan-lahan.
Tentu saja karena itu kegiatan Forum Taman Baca Masyarakat, Naya harus bicara hal-hal yang berhubungan dengan literasi. Menurut Naya, literasi bukan hanya sekadar membaca dan menulis. Naya tahu itu karena membaca buku Bunda, Dongeng Panjang Literasi Indonesia, dan selalu mendengarkan setiap kali Bunda jadi pembicara. Literasi itu seharusnya bisa membuat anak-anak jadi lebih kreatif, lebih berani, bisa lebih kritis. Bukan cuma baca buku lagi, baca buku lagi. Hm, kritis bukan berarti suka mengkritik orang tanpa ada sebab, tetapi berani bicara apa-apa yang menurut kita salah dan masih saja dilakukan oleh orang-orang. Dan termasuk juga mengkritik orang dewasa, seperti orangtua, guru, atau siapa saja. Literasi itu juga bagaimana anak-anak bisa mandiri, melakukan banyak hal sendiri.
Literasi tidak cuma membaca buku. Hal-hal lain yang dilakukan oleh anak-anak dengan baik dan bermanfaat buat mereka, itu bisa disebut literasi. Misalnya memasak. Tidak peduli itu anak perempuan atau anak laki-laki. Kenapa memasak? Karena dengan belajar memasak, ketika anak-anak harus tinggal di rumah sendiri tanpa seorang pun yang menemani, anak-anak tidak akan kebingungan, tidak kelaparan, tidak harus pesan makanan lewat ojek online. Kita bisa bertahan hidup.
Ketika anak-anak memasak, kita jadi tahu bahan-bahan yang digunakan, takarannya, bahkan cara memotongnya. Bunda mengajari Naya bahwa cara memotong kentang berbeda-beda tergantung campurannya. Jadi cara potongnya tidak harus selalu dadu atau besar-besar.
Bapak Walikota, tante Laura, dan Bapak Syeikh sudah bicara banyak tentang kota-kota literasi. Kota-kota dengan banyak buku dan perpustakaan. Ketika giliran Naya, Naya harus menjelaskan terlebih dahulu jika sebenarnya Naya tidak terlalu suka kota. Orang-orang di kota adalah orang-orang tidak peduli satu sama lain, kota itu polusinya tinggi, macet, panas, berdebu, dan kota penyebab paling besar rusaknya lapisan ozon di bumi. Lagian, di kota tempat bermain untuk anak-anal sangat sangat kecil, bahkan sulit ditemukan. Sudah terlalu banyak gedung-gedung, rumah, pabrik. Anak-anak terpaksa harus bermain di mall, di ruangan tertutup yang dipenuhi ac.
Naya lebih suka berada di desa. Orang-orang di desa lebih ramah dan mandiri. Mereka suka membantu orang lain dan suka berbagi. Orang kota sering tidak memedulikan apa-apa di sekitar mereka. Orang-orang kota sudah terlalu sibuk. Jadi, Naya tidak akan menjelaskan mengenai kota impian Naya. Tapi karena judul acaranya kota impian, Naya terpaksa menggunakan kata ‘kota’.
Pertama, Naya ingin kota impian Naya memiliki tempat bermain yang luas sehingga anak-anak tidak lagi duduk saja di rumah sambil menonton TV atau bermain handphone. Tempat bermainnya tentu saja tidak di mal, tetapi di alam terbuka. Harusnya di semua tempat menyediakan lebih banyak hutan, lebih banyak lapangan, lebih banyak sungai. Anak-anak akan lebih sering bermain. Dan dengan begitu, mereka akan mempelajari segala hal yang mereka lihat dan temukan di sekitar mereka. Selain itu, jika anak-anak banyak menghirup udara segar, tubuh akan menjadi sehat. Dengan taman bermain yang luas (tidak ada ayunannya pun tidak apa), anak-anak bisa belajar banyak hal.
Contohnya pengalamanku belajar bersama Om Mimo. Sebenarnya kami memanfaatkan alam untuk bahan belajar Naya. Tetapi Naya tidak pernah merasa kalau Om mengajari Naya. Misalnya, membuat metafora. Saat sedang berjalan-jalan, Om berbicara kepada Naya ‘Nay, main yuk’. Tentu saja Naya suka bermain. Jadi naya mengokekan. Om berkata, ‘Menurut Naya, kabel listrik itu mirip seperti apa?’ Naya menjawab, seperti helai-helai rambut. Terkadang juga Bunda mengikuti permainan ini. Jadi, Naya akan lebih banyak mengamati segala hal di sekitar Naya. Akan lebih bagus jika itu alam terbuka. Anak-anak tahu burung dengan melihat dan mengamati langsung, bukan hanya dari buku. Anak-anak tahu ayam, karena memeliharanya, bukan membelinya dari KFC.
Mungkin orang kota akan membuat taman di dalam gedung. Tetapi, kasihan tanamannya. Tanaman akan kekeringan dan kekurangan sinar matahari. Mereka hanya mendapat sinar lampu di gedung-gedung. Tumbuhan juga tidak bisa merasakan oksigen dari alam terbuka. Mereka hanya merasakan udara dingin dari AC. Aduh, kasihan sekali tanaman-tanaman itu, seperti anak-anak.
Kedua, selain taman bermain yang luas, Naya juga ingin orang-orang dewasa lebih ramah, lebih peduli pada anak-anak, dan bisa meluangkan waktu mereka untuk mengajar. Bukan mengajar anak-anak dengan cara melihat buku pelajaran lalu mengerjakan soal, bukan. Tetapi seperti cara belajar Naya, Bunda, dan Om. Kami belajar dengan cara membaca buku, lalu berdiskusi tentang isi buku itu. Kami juga bermain sehingga jadilah sebuah tulisan.
Belajar bersama anak-anak jangan seperti cara di sekolah yang selalu menunduk, fokus pada buku dan pensil. Bahkan Study Tour sekolah-sekolah lebih sering ke museum atau gedung-gedung. Kami jarang pergi ke desa untuk mencari tahu cara mereka hidup di sana, atau bagaimana cara mereka berkerja. Bukankah itu sesuatu yang aneh?
Di sekolah diajari untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih. Hampir di setiap sudut sekolah bertuliskan, JAGA LINGKUNGAN. JANGAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN. Walaupun setiap apel pagi Bapak Kepala Sekolah mengumumkan itu, tetapi ada saja anak-anak membuang sampah sembarangan. Waktu itu, Om pernah mengetesku. Kami pergi ke tempat yang bersih sekali, aku lupa nama tempatnya. Sama seperti di sekolah, tempat itu memiliki poster hijau di seluruh sudut. Om membuang puntung rokoknya dan menginjak-injaknya. Tentu saja aku marah melihat Omku, yang setiap saat menceramahiku tentang larangan membuang sampah sembarangan. Malah dia juga membuang sampah sembarangan. Om tersenyum dan berkata, ‘Iya, Om cuma ngetes Naya, kok’. Tapi Naya tahu Om hanya mencari-cari alasan untuk menutupi kesalahannya.
Selain itu, Naya juga ingin ada perpustakaan di mana saja, seperti di trotoar, di stasiun, di pasar, dan di manapun. Perpustakaan bukan hanya di gedung-gedung. Mungkin tidak semua anak-anak atau orang-orang suka berada di gedung-gedung. Jadi lebih baik membuat perpustakaan kecil di banyak tempat.
Walaupun sudah ada perpustakaan di banyak tempat, buku-bukunya juga harus yang bagus dan menarik. Jangan hanya buku-buku yang tidak bermanfaat. Aku pernah datang ke perpustakaan yang ada di trotoar. Di sana aku hanya melihat majalah-majalah lama yang sudah ketinggalan zaman. Mungkin buku-buku di situ adalah buku-buku buangan dari perpustakaan kota.
Selain itu, Naya juga ingin orang-orang dewasa tidak terlalu banyak mengatur anak-anak, bahkan di sekolah sekali pun. Mungkin, orang dewasa ingin anak-anak tidak bisa menandingi kemampuan mereka.
Sekolah malah lebih parah. Jika anak-anak menggambar tidak sesuai dengan kehidupan nyata, maka anak itu akan ditertawai oleh seisi kelas dan dicap sebagai anak bodoh. Anehnya, anak akan dicap sebagai anak pintar jika menguasai setiap mata pelajaran. Seharusnya anak-anak diberikan kebebasan dalam menggambar dan menulis supaya kreatif. Teman-temanku banyak yang saling menyontek gambar. Saat guru menunjuk seorang anak dan mengatakan gambarnya yang paling bagus, maka semua anak akan berpaling kepada anak itu dan serentak mencontek gambarnya. Bukankah itu parah?
Lalu untuk para orangtua, jangan membatasi anak-anak membaca buku yang disukai. Jangan melarang anak-anak membaca sebuah buku hanya untuk menghindari kritikan atau pertanyaan. Itu orangtua yang egois.
Orangtua juga tidak seharusnya menyuruh-nyuruh anak-anak untuk membaca buku sementara mereka hanya fokus pada handphone dan bergosip lewat whatsapp. Anaknya didesak membaca sekadar untuk disebarkan fotonya melalui media sosial, seakan-akan orangtua itu peduli buku dan pada anak yang cinta membaca. Bukankah itu konyol?
Leave a Reply