/11/
Aku jadi bertanya-tanya, apakah kami akan menjadi penakut ketika dewasa nanti? Bagaimana dengan Pina, masihkah dia suka pipis di celana sampai remaja. Juga entah sampai kapan Pakuik terus-menerus takut dengan rumahnya yang menjadi sarang hantu itu. Aku bingung, orang tua suka menakuti kami, tapi tidak senang melihat anak-anak yang ceroboh. Kemudian mereka akan meremehkan saat kami ketakutan, atau menghukum ketika kami merusak barang-barang. Kalian tentu masih ingat Ledor, kan? Kalau dipikir-pikir bukankah orangtuanya adalah hantu yang sebenarnya bagi Ledor.
Coba ingat-ingat lagi, seberapa takutnya kalian saat ibu atau ayahmu berbicara baik-baik tetapi kedengarannya seperti volume televisi yang mencapai angka 100. Ditambah lagi dengan jari telunjuk yang terus diacung-acungkan ke wajah kalian, atau mungkin sebuah penggaris papan, sabuk pingggang, dan tiga batang lidi yang siap membuatmu gemetaran sambil merengek ampun, dan bahkan sampai membuatmu terkencing-kencing di celana. Apakah mereka bukan semacam hantu seperti yang kukatakan tadi?
Ya, tidak semua orang tua seperti itu, tapi suatu hari itu akan terjadi pada waktu yang tidak tepat. Maksudku, ketika ibumu sedang sangat sibuk oleh pekerjaan rumah dan kau membuat permintaan yang bermacam-macam. Atau saat kau sangat ingin bermain dan ayahmu ingin beristirahat sebentar. Di saat itulah orang tua bisa menjelma hantu yang akan mengejutkan jantung anak-anak.
Menurutku orang tua hampir tidak ada bedanya dengan anak-anak, hanya mereka punya umur dan tubuh yang lebih daripada kami. Ya, seperti Pakuik yang akan kesal diganggu jika dia sedang asik dengan jajanan di tangannya. Juga aku yang malas meladeni kemauan Yuka dan Ledor untuk memperbaiki karet yang putus karena kebodohan mereka. Dan satu lagi yang membuat kami sangat jengkel karena Kak Sulu yang egois memaksa kami harus mendengar cerita hantunya.
Kalian mungkin tidak akan setuju dengan ideku ini, karena anak-anak tidak boleh membantah orang tua. Bukan hanya tidak boleh, bahkan bisa dikutuk jadi batu. Aku pernah dengar cerita ibuku tentang Malin Kundang, tapi tidak sekarang aku ceritakan pada kalian. Aku tahu itu adalah semacam trik ibuku biar aku jadi penurut. Ibu bukanlah penyihir seperti dalam buku The Witches, yang bisa mengubah anak-anak jadi tikus. Aku yakin tidak mungkin ada orang tua yang mau menyulap anaknya menjadi patung, apalagi tikus. Mereka hanya ingin anak-anak tunduk dan mudah diatur seperti di sekolah setiap pagi berbaris, duduk rapi di kelas saat belajar tanpa keributan sedikit pun, dan harus bersuara ketika ditanya oleh guru.
Ledor adalah anak idola di sekolah maupun di rumahnya. Jika ada perlombaan Anak Terbaik di kompleks kami, dialah yang akan mengangkat pialanya di panggung. Meskipun dia sesekali cerobohnya sangat parah, tapi dia lebih layak ketimbang anak-anak yang lain. Ya, karena ibunya melebihi guru paling sadis di sekolah dan suka mendadak tuli ketika Ledor meminta ampun atas kecerobohannya. Ibunya melatih dia untuk menjadi contoh anak-anak yang sempurna bagi orang tua lain. Akhirnya Ledor hampir seperti robot. Dan sifatnya yang ceroboh itu karena kesalahan yang membuatnya eror, aku tahu itu dari sebuah film.
Ah, Ledor yang malang. Kalian tahu kenapa Ledor seperti itu? Aku yakin dia sebetulnya tidak mau jadi robot, maksudku bersikap seperti robot di mata ibunya. Setiap bersama ibunya dia akan mendadak tegang dan kaku, dan ketika bermain bersama kami di luar rumahnya atau saat keluar kompleks, dia sangat lincah dan gembira. Aku jadi tahu kalau rumahnya adalah semacam laboratorium dengan orangtuanya sebagai ahli robot. (NS)
Leave a Reply