/9/
Aku pernah mendengar cerita tentang kak Sulu yang bertemu penculik sebelum ia berumur sepuluh tahun. Aku tidak tahu dari mana asal mula cerita itu. Kamu pasti mengerti, kan, ketika ibu-ibu sudah berkumpul? Mereka bisa menceritakan apa saja. Bahkan sesuatu yang tidak masuk akal atau yang tidak pernah terjadi sekalipun.
Dari yang aku dengar, kejadian itu yang membuat kak Sulu jadi hobi menakuti anak-anak. Aku tidak yakin, apakah cerita seram kak Sulu sebagai senjata balas dendam, agar anak-anak memiliki ketakutan dan dihantui seperti yang dia alami. Atau semacam cara agar kami bisa menjaga diri. Mungkin menurut kak Sulu kami jadi punya bayangan apa yang harus kami lakukan jika penculik itu hadir di kompleks perumahan dan mengintai satu-dua orang di antara kami untuk dijadikan mangsa.
Untuk alasan yang terakhir, aku lebih menyukainya dan itu mungkin saja terjadi. Setahuku, dari nenek moyang kita suka sekali menyebarkan cerita-cerita misterius untuk melindungi anak-anak mereka. Jika aku pikir-pikir, cerita itu sungguh tidak masuk akal. Tapi ibuku bilang, dia mempercayainya begitu saja ketika nenek menceritakannya pada ibu. Akibatnya, aku sering dimarahi ibu gara-gara duduk di bantal, makan dari mangkuk sayur karena ibu terlalu sibuk dan belum sempat mencuci piring, bermain payung di dalam rumah bersama Pina dan Ledor, menunggu teman-temanku datang sambil duduk di pintu depan rumah. Bahkan yang paling menyebalkan, ibu mengomeliku sepanjang hari dan menceritakan hal yang tidak masuk akal hanya karena aku bangun kesiangan.
Eits, jangan kamu pikir ibuku marah karena aku bolos sekolah dan ketinggalan pelajaran. No..No…No… Bukan itu alasan sepanjang hari ibu tidak berhenti mencerewetiku. Aku juga melihat ibu masuk ke kamarku dan memercikkan air di setiap sudutnya. Mulut ibu juga terlihat berkomat-kamit. Entah apa yang diucapkannya. Tentu saja itu hal aneh, selain ibu sudah membuat kamarku jadi basah, juga berbau seperti aroma jeruk dan kenanga.
Apakah kamu pernah mendengar cerita tentang Bangkak Parau? Ah, aku sudah yakin, itu pasti karangan ibuku saja atau cerita mengada-ada yang diterima ibu dari nenekku. Bagaimana mungkin hanya karena kamu bangun terlambat jam sembilan pagi, bikin hantu gendut berkepala botak dengan tangan kiri yang dua kali lebih panjang dari tangan kanannya akan mendatangimu? Cerita ibuku lagi, hantu-gendut-botak bertangan panjang itu akan memanggil-manggil namamu dengan suara yang serak dan berat. Pokoknya sangat menyeramkan dan kamu akan merinding mendengarnya, tambah ibuku.
Bangkak Parau juga yang bikin ibu bergegas mengambil mangkuk, mengisinya dengan air, beberapa jumput beras, beberapa kelopak bunga kenanga, dan perasan jeruk purut, lalu memercikannya di setiap sudut kamarku menggunakan daun pandan yang dilipat dan diikat sedemikian rupa sambil membaca mantra. Kata ibu lagi, mantra itu diajarkan nenek kepadanya, seakan-akan nenek sudah tahu jika aku akan telat bangun hari itu.
Ibu bilang, Bangkak Parau akan terus mencariku selama tujuh hari. Jadi, aku tidak boleh bangun lewat dari jam enam pagi. Jika tidak, Bangkak Parau akan bisa mencium keberadaanku meskipun ibu sudah menutupinya dengan aroma kenanga, jeruk purut dan pandan. Bangkak Parau mampu mendeteksi anak-anak yang bangun terlambat dari aroma iler dan bunyi ngorok anak-anak. Kata ibu lagi, Bangkak Parau bukan hanya mendatangi dan memanggil anak-anak. Tapi dengan tangan kirinya yang sangat panjang itu, dia akan menarik kaki anak-anak yang masih tertidur dan membawanya ke sungai, ke tempat dia tinggal. Tentu saja anak-anak akan hanyut dan mati tenggelam di situ.
Sebenarnya, aku tidak mau mempercayai cerita ibu, itu terlalu mengada-ada. Tapi ibu mengulang-ulang cerita itu seharian. Lagipula, tidak jauh dari kompleks, di belakang rumah Pina, ada sungai. Kami cukup sering bermain di sana, sekadar memancing udang atau berenang. Tapi jika di situ ada Bangkak Parau dan aku pernah terlambat bangun, aku harus lebih berhati-hati.
Malamnya, sebelum tidur, aku menepuk-nepuk bantalku tiga kali sambil berbisik, peri bantal, tolong bangunkan aku jam lima pagi, dan menepuknya lagi tiga kali. Aku tidak mau mengambil risiko terlambat bangun lagi keesokan harinya. Itu terlalu berbahaya. Oh, bukan! Bukan karena aku takut pada Bangkak Parau. Aku hanya tidak mau dicereweti ibu seharian, diceritakan hal-hal yang menyeramkan. Ditambah lagi, kamarku akan berbau aneh dan aku tidak bisa bersekolah. (YP)
Leave a Reply