/6/
Bicara soal perang, aku jadi teringat pak Ubon, salah satu tetangga kami. Menurutku, pak Ubon lebih mirip seperti tentara atau agen rahasia yang sering aku tonton di film-film. Aku juga curiga jika Ubon itu bukan nama sebenarnya. Itu hanya nama samaran saja. Ya, untuk mengelabui orang-orang di sekitarnya biar tidak curiga. Tapi instingku kuat dan tajam, tidak seperti teman-temanku. Ah, mereka hanya tahu jajan, main, atau merusakan sesuatu.
Mungkin ada baiknya aku menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan pada kalian mengenai detil pak Ubon yang misterius itu. Dan jika Pakuik tahu apa yang aku ketehui, aku yakin dia tidak akan mau lagi bersembunyi di pohon mangga pak Ubon sambil ngemil satu dua biji mangga yang sudah matang. Pssssst, tapi kalian harus berjanji, hanya kalian yang boleh tahu cerita ini, tidak orang lain, tidak siapa saja. Bahkan kucing kesayanganmu sekalipun.
Begini, aku sangat yakin jika Ubon itu hanya nama samaran. Aku memang belum tahu nama asli pak Ubon. Aku rasa, nama itu dipilih biar tidak terkesan terlalu mencolok dan mencurigakan. Barangkali pak Ubon (yang bukan nama sebenarnya) menganggap Ubon itu nama yang sedikit kampungan. Mendengarnya, orang-orang akan membayangkan seorang laki-laki tua yang sangat kolot dan kesepian. Ubon itu seperti uban, artinya sudah tua. Menurutmu, berapa usia pak Ubon? 50 tahun, 55 tahun, 60 tahun, atau 65 tahun? Kalian salah besar. Menurut pengamatanku, umur pak Ubon tak lebih dari 45 tahun. Bahkan dia lebih muda dari ayahku. Jadi, pak Ubon (yang bukan nama sebenarnya) itu, mengira dengan menggunakan nama tersebut, orang-orang di kompleks tidak akan menganggu dan mengusiknya.
Pak Ubon bukan tetua di kompleks ini. Pak Ubon penghuni baru. Lelaki itu baru 1 tahun menjadi penghuni rumah paling sudut di kompleks ini. Pak Ubon hidup sendirian (aku tidak pernah sekali pun melihat bu Ubon belanja sayur atau bergosip dengan ibu-ibu kompleks lainnya). Badannya tinggi, kekar,dan berotot– aku jadi teringat tokoh agen rahasia di film-film yang pernah aku tonton. Dan terpenting, dia jarang sekali terlihat tersenyum, seakan seluruh hal buruk pernah ditempelkan di wajahnya. Dan ketika dia tersenyum, percayalah, kamu akan lebih memilih melihat wajahnya tanpa seringai aneh itu. Mengerikan, sungguh mengerikan!
Pak Ubon (yang bukan nama sebenarnya itu), seperti laki-laki yang tidak suka bersosialisasi. Aku tidak pernah sekalipun melihat pak Ubon menghadiri rapat kompleks atau acara tujuh belasan dan pengajian. Untuk yang terakhir, bisa jadi pak Ubon bukan muslim atau mungkin muslim tapi tidak begitu taat. Aku hanya sesekali melihatnya, terutama jika aku pulang terlambat dari masjid. Sudah tentu larut untuk ukuran anak-anak. Ya, mungkin sekitar pukul sembilan atau sepuluh malam. Aku tidak begitu yakin. Tapi aku selalu diomeli ibu begitu sampai di rumah.
Sekali, aku pernah lewat di depan rumah pak Ubon. Jika aku tak salah ingat, waktu itu aku ingin ke rumah Pina. Ya, tentu saja karena aku ingin menikmati makanan enak ibu Pina. Aku tidak sengaja menoleh ke arah rumah pak Ubon. Niatku, ingin melihat mangga-mangga di depan rumahnya yang sudah kami tandai sesuka hati kami. Aku melihat pak Ubon berdiri di belakang jendela berkaca lebar di rumahnya. Kaca itu hanya ditutupi tirai tipis. Jadi, aku sangat yakin itu pak Ubon.
Pak Ubon terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Aku menahan langkah, lalu mundur dua langkah dan mengintip dari celah pagar rumahnya. Wajah Pak ubon terlihat serius. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya. Dia berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba, wajahnya berubah, dia membanting telepon yang dari tadi menempel di telinganya. Pak Ubon memukul lemari besar yang ada di dekatnya. Aku melihat sebuah lubang besar bekas tangan pak Ubon di lemari itu. Aku sampai kaget dibuatnya. Lalu, aku melihat pak Ubon mengambil sebatang rokok, menyelipkan di antara bibirnya. Pak Ubon tiba-tiba memandang lurus ke luar jendela, ke arahku. Aku buru-buru menyembunyikan kepala dan badanku.
Pak Ubon mendekati jendela berkaca lebar di rumahnya. Dia seperti menelisik dari balik gorden tipis itu. Mungkin dia mencurigai sesuatu. Bisa jadi dia mencurigai aku yang sedang mengintip. Aku masih menyembunyikan kepalaku di balik tiang-tiang beton kecil pagar rumah pak Ubon. Sesekali, aku mencoba mengintip ke arah rumah. Pak Ubon terlihat merogoh kantung celananya. Dia seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya. Aku kaget melihat benda yang dikeluarkan pak Ubon, hingga hampir terjungkal. Tentu saja aku segera berlari kencang meninggalkan rumah itu.
Aku ketakutan? Begini, menurutku, ibuku paling menyeramkan ketika marah. Tapi ibu tidak pernah membolongi lemari besar dengan tinjunya dan ibu tidak akan mengancamku menggunakan benda itu. Hanya orang-orang tertentu yang boleh memilikinya. Dan aku semakin yakin jika pak Ubon mata-mata di kompleks ini. Aku tidak akan menceritakan pada siapapun hingga aku bisa membuktikannya. Aku tidak mau ditertawakan oleh teman-temanku yang ceroboh itu. (YP)
Leave a Reply