/4/
Sudah pasti orang- orang di perumahan akan menganggap Pakuik adalah anak yang saleh. Ya, aku tertawa dalam hati saja melihat mereka yang ceroboh menilai Pakuik. Memang sih, Pakuik tidak seperti anak-anak lain di kompleks. Biasanya, anak-anak kompleks baru bergerak jika sudah terlihat tanda-tanda naga akan bangun dan mengamuk. Jika naga belum bangun, anak-anak memilih bermalas-malasan. Mereka semacam berusaha mencari alasan agar tidak ke masjid. Seakan-akan masjid seperti ruang hukuman. Tapi Pakuik tidak begitu. Sehingga orang-orang di kompleks mencap Pakuik sebagai anak yang baik dan saleh.
Sebenarnya, jika orang-orang memperhatikan baik-baik, Pakuik tidak seperti dugaan mereka. Tapi, siapa sih, yang mau membuang waktu hanya untuk memperhatikan anak-anak?
Pakuik tidak pernah langsung berangkat menuju masjid. Iya sih, dia akan tergesa ke luar rumah dan sering kali dengan mengendap-endap. Tapi, bukankah itu mencurigakan? Mengapa Pakuik harus mengendap-endap?
Asal kamu tahu, Pakuik sebisa mungkin berusaha menghindari naga di rumahnya mengamuk. Itu sebabnya dia seringkali terpaksa sembunyi-sembunyi untuk kabur dari rumah. Tentu saja ibu Pakuik tahu kelakuan buruk anaknya. Pakuik tidak langsung menuju masjid. Ia akan pergi ke suatu tempat terlebih dahulu untuk bermain, jajan, bermain, jajan. Setelah itu, baru dia menuju masjid. Kadang-kadang, dia sampai di masjid saat imam sudah hampir mengucapkan salam. Kamu pasti bertanya, bagaimana aku bisa tahu? Ah, itu nanti saja kuceritakan. Ada hal yang lebih menarik yang perlu kamu tahu.
Begitu adzan magrib terdengar, Pakuik menyelinap keluar rumah dan pergi ke rumah temannya, atau pergi ke warung bu Darinah. Pakuik suka sekali membeli banyak jajanan, seakan-akan perutnya gua yang sangat besar. Pakuik baru akan menuju masjid ketika salat sudah hampir selesai.
Asal kamu tahu, Pakuik datang ke masjid tidak benar-benar ingin salat berjemaah. Dia hanya mencari-cari alasan biar bisa tidur di masjid. Pakuik takut tidur di rumahnya, apalagi di kamarnya. Kabarnya, rumah Pakuik menjadi tempat semua hantu di kompleks berkumpul jika sudah malam. Aku tidak tahu dari mana kabar itu datangnya. Tapi sejak mengetahui itu, Pakuik tidak pernah mau tidur di rumahnya. Dia memilih tidur di masjid, sendirian. Pakuik pikir, hantu tidak ada di masjid. Jadi, dia merasa aman.
Aku mengunyah godok pisang gula merahku dengan lambat. Mungkin karena itu teman-temanku menjulukiku kura-kura. Mereka menganggap aku lamban. Menurutku, aku hanya berhati-hati saja. Aku dan teman-teman sering memberi nama julukan. Aku tidak tahu mengapa kami begitu. Aku pikir, asik saja memanggil teman dengan julukan yang identik dengannya. Dan aku tidak perlu berpikir lama untuk melakukannya. Tidak seperti teman-temanku yang begitu lamanya berpikir sekadar untuk memberi julukan kepadaku.
Nama yang pertama kuingat pasti Pakuik, aku menjulukinya Si Penjaga Masjid. Tentu saja karena dia selalu tidur di masjid. Tapi aku tahu, Pakuik artinya penakut. Bahasa Minang takut itu, takuik. Biar tidak terlalu kelihatan, dijadikan Pakuik. Ibu-ibu di kompleksku sepertinya suka sekali memberi nama yang buruk untuk anak-anak mereka. Aku masih belum tahu alasannya. Aku hanya tahu, ibu-ibu itu ceroboh sekali.
Aku melihat teman-temanku makan dengan cepat. Aku tidak tahu mengapa mereka makan terburu-buru begitu. Seperti sedang dikejar-kejar hantu atau hal-hal sejenisnya. Tapi kata Ibuku, makan dengan bergegas itu, baik. Kata ibuku lagi, kalau makan dengan lambat, saat terjadi perang, aku bakal mati duluan! Menurutku omongan ibuku sangat ceroboh. Aku jadi merinding mendengarnya. Aku pikir, ibuku sedang memohon kematian untukku. Entahlah, aku tidak tahu ibu sedang memohon pada siapa.
Aku sering bilang pada ibuku, saat besar nanti aku ingin menjadi tentara. Ibuku tertawa mendengar cita-citaku. Ah, ibu yang ceroboh. Harusnya, ibu mendukung cita-citaku, bukannya menertawakanku. Ibu bilang, aku tidak mungkin jadi tentara. Belum berangkat perang, aku sudah duluan mati tertembak. Menurutmu, ada yang ceroboh tidak dengan omongan ibuku? Menurutku, iya.
Pertama, seperti biasa, ibu seperti mendoakan aku cepat mati. Kedua, apakah jadi tentara itu artinya harus berperang? Ada-ada saja ibu. Mana mungkin akan ada peperangan. Lagipula, menurutku sudah tidak jamannya lagi perang pakai tembak-tembakan. Sekarang kalau perang, pakai nuklir atau senjata bilogis. Memangnya ibu pikir ini tahun berapa? Atau, jangan-jangan ibu sedang berkhayal dunia sedang dipimpin oleh hantunya Hitler. Hiii, menurutku, hantu Hitler jauh lebih menyeramkan ketimbang semua hantu di rumah Pakuik. (AGJ)
Leave a Reply