/3/
Aku pikir, tidak ada yang salah dengan Pina yang ketakutan. Tidak semua anak punya keberanian. Apalagi jika menyangkut hantu. Hiiii, jika aku jadi dia , aku juga pasti ketakutan. Tapi tentu saja tidak akan ngompol di kasur. Itu hal paling memalukan yang pernah dilakukan. Hal paling memalukan sebagai anak-anak.
“Kita ke rumah Pina, yuk,” ajakku pada teman-teman di suatu sore.
Tidak seperti kami. Pina tinggal di rumah kampung, begitu orang-orang di kompleks ini menyebut rumah-rumah yang berada di luar kompleks. Sebenarnya rumah Pina tidak terlalu jauh. Rumah-rumah kampung itu berada tepat di belakang komplex kami. Tapi untuk sampai ke sana, kami harus ber jalan memutar. Apalagi lapangan tempat kami biasa main, letaknya di ujung lainnya menuju rumah Pina.
Tapi untung saja ibu Pina suka memasak. Masakan ibu Pina selalu enak, tidak pernah tidak. Setiap kami datang, selalu saja ada makanan yang terhidang di meja. Goreng pisang, pargedel jagung, kue putu ubi, dan entah apalagi nama kue-kue itu. Aku tidak tahu. Aku hanya ingat, rasanya lezat sekali. Pantas saja badan Pina jadi tambun begitu. Pasti kerjaannya makan melulu. Siapa, sih, yang bisa menolak jika disuguhi makanan enak? Ah, aku yakin kamu juga tidak akan bisa menolaknya. Dari aromanya saja, sudah bikin perutmu lapar dan ilermu menetes. Sungguh, aku tidak bohong!
Ketika kami sampai, Pina terlihat sedang kesusahan memanggul kasurnya. Kami berlari mendekati Pina, ingin membantunya.
“Kenapa kasurmu dijemur, Pin?” tanya Ledor.
“Sudah tidak empuk lagi, Le. Aku rasanya seperti tidur di atas papan,” kami langsung mengambil posisi, membantu Pina memanggul kasurnya.
“Uuuh, kok baunya nggak enak begini, Le?” Yuka mengibas-kibaskan sebelah telapak tangannya di depan hidungnya.
“Ya, pasti bau. Tadi malam Pina kan ngompol,” kami mendengar suara dari arah pintu rumah. Kami melihat ke arah kak Sulu yang sedang menyapu di teras.
“Kamu ngompol, Pin?” Ledor bertanya sambil tertawa.
“Masa sudah gede masih ngompol, Pin?” Yuka menimpali.
Kami tertawa. Pina diam saja. Kami mengejek dan menertawai Pina semakin kencang.
“Sudah letakkan saja kasurnya di sini,” Pina menurunkan kasur di dekat pintu. Kami mengikuti Pina. Kasur itu kami senderkan di dinding rumah. Kak Sulu masih asik menyapu.
“Kak, jangan bikin malu aku,” Pina terlihat sedikit kesal.
“Aku tidak bikin malu. Aku kan Cuma bicara apa adanya. Aku bicara kenyataan, kok. Benarkan,tadi malam mengompol? Memangnya aku bohong?”
“Iya nggak usah diteriaki ke teman-temanku juga kali!! Lagian kakak, sih, cerita hantu segala. Masa rumah pak Ubon berhantu?” Pina tidak mau kalah.
Kami saling berpandangan. Hantu di rumah pak Ubon? Kami melihat ke arah kak Sulu. Baru kali ini kami mendengar tentang hantu di rumah pak Ubon. Rumah itu memang selalu terlihat kosong, seperti tidak ada penghuni. Tapi hantu? Mana mungkin ada hantu di rumah pak Ubon.
“Ya sudah, kalau tidak percaya,” kata kak Sulu. Dia melanjutkan menyapu.
“Kak Sulu memang selalu mengada-ada. Sudah jangan dengarkan dia. Mending kita makan godok pisang gula merah. Ibu tadi sempat bikin sebelum berangkat kerja. Ibu tahu kalian pasti mau ke sini,” ajak Pina. Tentu saja semua senang. Kami mengikuti Pina masuk ke dalam rumah.
“Kak, benar di rumah pak Ubon ada hantunya?” tanyaku pada kakak Pina sebelum masuk. Kak Sulu malah tertawa.
“Dasar kalian penakut,” katanya sambil terus menyapu.
Uh, ceroboh sekali kak Sulu. Dia tidak bisa menjaga mulutnya. Coba kamu bayangkan, jika cerita itu tidak benar, lalu cerita itu didengar oleh orang-orang di kompleks, sudah pasti akan bikin geger. Kamu tahu, kan, maksudku? Sudah tabiat orang-orang di kompleks, kalau berkumpul. mereka tidak bisa bicara kurang dari tiga kalimat. Mereka harus bicara lebih banyak lagi.
Bagaimana jika pak Ubon mendengarnya? Bualan semacam itu bisa bikin pak Ubon marah atau sedih. Bisa jadi pak Ubon penakut dan dia takut untuk pulang ke rumahnya sendiri.
Ah, aku jadi teringat temanku Pakuik. Dia anak yang paling penakut yang pernah aku kenal. Jika azan magrib sudah terdengar, dia akan mengendap-endap keluar dari rumahnya. (YP)
Leave a Reply