Akhir Januari 2018, di sebuah kedai kopi tidak jauh dari sekolah Naya, saya datang terlambat menjemput. Mereka berdua sedang asik berdiskusi, entah apa yang sedang dibicarakan. Seperti biasa, saya tidak terlalu ambil pusing, nanti mereka juga akan cerita pada saya. Tak lama, Naya berlari ke dalam toko buku sambil menenteng beberapa lembar uang dua ribuan. Saya masih tidak terlalu peduli, buka laptop, buka buku, pesan segelas coklat panas, memulai rutinitas genting saya.
Setelahnya, Naya mengambil posisi meja di seberang meja saya. Saya lihat dia mulai asik menulis di buku yang baru saja dia beli, menggunakan pensil yang juga baru dia beli. Saya ingat, buku tulis itu berwarna kuning tua dengan gambar mobil balap di depannya dan sebuah pensil berwarna hijau muda dengan tulisan ‘Writer’ di sepanjang batangnya. Saya masih tidak bertanya apa-apa, membiarkan dia asik dengan kesibukannya.
Berselang satu-dua jam, dia memberikan buku tersebut pada saya. Katanya, ‘coba bunda baca!’ itu saja. Saya mengikuti instruksinya, dia duduk di samping saya. Saya membaca pelan tiga halaman tersebut. Dia lalu berkata lagi, ‘Bagaimana?” Tentu saja saya balik bertanya, ‘Ini apa?’ Dan mulailah dia bercerita, sesekali ditimpali dan disambung Nermi.
Saya lalu membuka halaman belakang buku dan menemukan beberapa lembar coretan. Naya terbiasa menuliskan hal-hal yang ia rasa tidak begitu perlu tapi penting untuk dituliskan, pada halaman-halaman belakang bukunya. Saya menemukan semacam jalan berpikir Naya di sana, ide-ide Naya. Naya menuliskan apa-apa saja yang menurutnya perlu ambil bagian dalam pekerjaan, yang sejak malam itu ia putuskan untuk lakukan.
“Naya mau menulis novel, Nda” begitu ucapnya malam itu. Tentu saja saya senang dan mendukung, karena akhirnya Naya berhasil membuat rumusan berpikir ala dia, lengkap dengan coret sana coret sini. Saya hanya bertanya, ‘ Apa nantinya keistimewaan novel Naya dari novel-novel lain?’ dan Naya pun menjelaskannya pada saya.
Terus terang, mata saya berkaca-kaca sepanjang penjelasannya. Ada sebuah keinginan dan tekad, saya lihat di sana. Juga sebuah alur berpikir. Sejak malam itu, saya dan Nermi putuskan untuk mendukung sepenuhnya semangat dan keinginan Naya. Setidaknya, saya ingin melihat seberapa gigih Naya coba untuk marathon dengan ide-ide dan tulisannya.
******
Keinginan untuk menulis sebuah prosa panjang sudah pernah Naya sampaikan jauh sebelumnya. Jika saya tidak salah sekitar pertangahan tahun 2016. Tapi mungkin masa itu tenaganya belum begitu memadai untuk sebuah nafas panjang. Tapi kemudian atas instruksi dari Nermi, dia mulai cicil hal-hal kecil, yang mungkin dia sendiri tidak akan sangka akan berguna dalam proses penulisannya kemudian.
Di dinding kamarnya, ada selembar kertas yang diberi kotak-kotak kecil. Kotak-kotak kecil itu kemudian mulai diisi Naya satu-persatu. Ada-ada saja gambar yang ia taruh di sana. Bagian atas kertas, dengan ukuran huruf yang lumayan besar, dituliskan : Negeri Impian Naya. Katanya, ‘Naya mau belajar menjadi seperti Tolkien’
Naya juga mempunyai sebuah tas kecil yang berisi sebuah buku saku dan sebuah buku tulis. Pada kedua buku tersebutlah, hal-hal yang tidak bisa dijelaskan lewat gambar, mulai ia tuliskan. Kalau mereka berdua bilang, ‘ini deskripsi, bunda!’ Ya, anggap saja begitu, pikir saya awalnya.
Seingat saya, tokoh yang sampai hari ini masih saya asumsikan sebagai tokoh penting dalam cerita, justru Naya ciptakan awal tahun 2016. Dia menggambar, mewarnai, menceritakan tentang gambar tersebut pada kami. Setelahnya, Nermi mulai mengenalkan pada Naya bagaimana cara membentuk tokoh dan membangun karakter dari tokoh.
Gambar-gambar di kotak kecil, deskripsi-deskripsi singkat-panjang di buku, jadi bahan awal Naya untuk mulai membangun sebuah cerita. Tidak cukup pada dua media tersebut, seluruh tembok kamarnya pun ia gambar, coret, warnai, yang entah apa.
Naya juga mulai menyusun cerita pendek-pendek. Cerita-cerita tersebut terlihat tidak berhubungan sama sekali. Bahkan beberapa cerita menurut kami, sebaiknya Naya simpan saja dulu di kotak berkas lama.
****
Sejak malam itu, Naya mulai rutin memberikan pada saya 3 bahkan hingga 6 lembar tulisan di buku kuning bergambar mobil itu. Saya pun mulai ketik ulang di laptop. Data pada perangkat saya menunjukkan, pertama kali tulisan tersebut saya alih media, 6 Februari 2018.
Hingga kemarin, tulisannya sudah mencapai bagian ke Delapan Belas. Dan seperti biasanya, dia tidak mau menceritakan apa-apa hingga dia menuliskannya. Kecuali jika ia mulai kehabisan ide dan butuh teman diskusi. Itu pun sedikit, bikin saya sering dongkol. Sebab jujur, saya sudah kadung jatuh hati pada satu karakter dalam kisah Naya. Karakter yang membuat kami menerka-nerka, ‘Kayaknya itu kamu.. Bukan, itu si A…. Ah, mungkin si B!” Begitulah proses Mencari Trakus bermula. Di awali oleh kerja kecil-kecil yang sudah ditabung Naya sejak 2016.
Ah Nay, jangan bikin bunda mimpi buruk dong ah….. 😀
Leave a Reply