Judul : Resep Membuat Jagat Raya (Sehimpun Puisi)
Penulis : Abinaya Ghina Jamela
Penerbit : Kabarita
Tahun : 2017
ISBN : 978-602-721139-1
Malam itu aku datang di Kedai Mare belakang Ambarrukmo Plaza untuk ngopi dan berdiskusi dengan temanku. Namun ada yang berbeda pada saat itu. Aku melihat perempuan berumur sekitar 7 tahun membacakan puisi untuk kakek yang duduk di sebelahnya. Karena penasaran dengan perempuan kecil yang imut itu, aku langsung berkenalan.
“Namamu siapa, Dek?”
“Naya.”
“Naya rumahnya dimana?”
“Di sini.”
Saat itu baru kusadari kalau Naya adalah anak dari Kak Yona, si pemilik Kedai Mare. Lalu kulihat-lihat banyak buku di perpustakaan kecil yang memanfaatkan ruangan 5×8 meter untuk ruang baca. Lalu aku membaca buku sambil menikmati kopi arabika Aceh yang masih hangat.
Kak Nermi, barista yang bekerja di Kedai Mare, lalu merekomendasikan buku kumpulan puisi berjudul “Resep Membuat Jagat Raya” karangan Naya kepadaku. Sontak aku tak percaya bahwa perempuan yang masih kecil itu sudah membuat buku. Langsung saja kubaca buku itu sambil tersenyum-senyum sendiri. Banyak kata-kata yang ditulis Naya hampir sama dengan kata-kata yang sebenarnya ingin kutuliskan sejak kecil. Kemudian aku pinjam buku itu selama satu hari agar aku bisa bebas dan leluasa membacanya. Kak Nermi dan Kak Yona pun mempersilahkan aku meminjam buku itu.
Hanya butuh 5 jam aku membaca kumpulan puisi Naya sampai selesai. Ketika membacanya aku merasa kembali ke masa kecil yang penuh dengan keceriaan dan kebahagiaan. Lalu aku berpikir mengapa waktu kecil aku tak menuliskan kisah-kisah petualanganku ke dalam buku atau diari? Aku jadi berpikir lebih berat lagi, apakah menulis itu pekerjaan yang sulit? Apakah menulis itu adalah sebuah kemewahan sekaligus keanehan?
Semakin berpikir berat, aku mengambil kesimpulan bahwa guruku di sekolah, bahkan dosenku di kampus, hanya mengisi otakku dengan sampah-sampah ilmiah. Namun tak mengajarkanku untuk menelisik kebenaran dan menuliskan apa yang aku rasakan sebagai kebenaran versiku. Aku jadi ingat bahwa sejak kecil hingga kuliah, otakku ditumpuk dengan tugas-tugas berat, dan tak dilatih untuk menulis tentang apa yang kuketahui. Kemudian aku mengambil kesimpulan bahwa kesulitan menulis itu sama dengan kesulitan mengungkapkan kebenaran. Menulis itu seperti keterampilan memasak, ataupun mencuci baju. Menulis sastra, politik, sains, dan segala macam tetek-bengeknya adalah kemampuan yang wajib dimiliki pribadi sebagai manusia. Entah kamu bekerja sebagai pedagang, guru, pemulung, PNS, pengusaha, buruh, petani atau siapapun itu. Jadi menulis itu adalah upaya mengungkapkan kebenaran dan merekam jejak kebenaran.
Kumpulan puisi Naya tak hanya menceritakan keindahan dan petualangan saja, namun juga merekam jejak-jejak pemikiran dan sejarah. Beberapa puisi yang ada di dalam buku itu sangat kental dengan bahasa ilmiah dan akademis, meskipun di campur dengan bahasa sehari-hari. Artinya anak kecil seuasia Naya bisa mengerti sejarah, dan pemikiran tokoh besar bisa menampik anggapan orang bahwa jangan berikan ilmu pengetahuan dewasa kepada anak-anak. Ternyata Naya mampu memahami pemikiran orang dewasa itu.
Pernah suatu kali aku magang menjadi tenaga pengajar di salah satu sekolah. Waktu itu temanku menyuruh agar aku tak memberikan teori-teori dan sejarah dunia kepada siswa. Yang ditakutkan adalah nanti siswa menjadi terdoktrin. Aku heran dengan temanku itu, aku percaya bahwa semua orang itu bisa berpikir dan jangan lupa bahwa pengetahuan itu timbul dari keingintahuan. Lalu kalau siswa hanya diberikan tugas-tugas yang berat dan tak pernah diberi kesempatan untuk menuliskan gagasan dan mengakses pemikiran ilmiah yang kokoh aku yakin siswa ini akan jauh lebih matang ketika ia dewasa. Dan aku yakin pula Naya menjadi anak yang bisa menginspirasi banyak orang dewasa sepertiku ini.
Saat selesai membaca buku ini, aku tertawa dan hanya menggelengkan kepala. Sungguh buku ini adalah buku paling jujur dan paling tulus yang pernah dibuat oleh penulis di Indonesia. Puisi yang mudah di pahami, kuat secara bahasa, dan dalam secara makna. Sulit menemukan karya sastra yang bahasanya mudah dipahami, namun secara pemaknaan kurang dalam. Ada juga pemaknaannya dalam, namun secara bahasa tidak mudah dipahami. Bagiku, Naya sudah berhasil menggabungkan hal itu menjadi satu.
Saat buku itu kukembalikan kepada Kak Yona. Aku sempat bertanya tentang mengapa Naya bisa rajin menulis sejak kecil. Bagaimana cara mengajaknya untuk menulis di kala anak seumurannya bermain-main?
“Sebenarnya aku gak pernah mengajarkan dia untuk harus belajar dan nulis. Itu karena aku sering sekali baca buku, dan dia liatin aku baca. Akhirnya ikut-ikutan. Kalau aku sih membebaskan dia mau belajar atau enggak terserah. Tapi aku kasih dia pengertian kalau dia enggak belajar nanti bisa enggak naik kelas. Dia udah tahu sendiri tanggung jawabnya,” kata Kak Yona sambil meminum kopi.
“Oh begitu ya. Keren sekali ya. Kalau aku baca kumpulan puisi ini sampai selesai kan banyak bahasa-bahasa sejarah dan teori. Biasanya Naya baca buku apa saja Kak?” Tanyaku lagi.
“Dia paling suka dengan Pram. Dia juga suka banget sama Justin Gardner. Dia sekarang sibuknya malah baca buku terus. Kalau bangun pagi itu langsung baca buku, kalau habis sekolah juga baca buku. Malah aku yang dicuekin. Kadang aku pengen dia istirahat, tapi kelihatannya membaca itu udah jadi hobinya.”
Ketika mendengar hal itu, aku kagum dengan Naya maupun Kak Yona yang saling mengerti satu sama lain. Hubungan antara ibu dan anak bisa sampai menjadi partner intelektual. Aku jadi teringat film “Captain Fantastic” ketika mendengar, melihat, dan membaca apa yang dilakukan oleh Naya di kumpulan puisinya itu. Aku rasa wajib bagi semua orang untuk membaca kumpulan puisi Naya ini. Agar mentalitas buruk dan memandang rendah anak-anak bisa diubah sedini mungkin.**
———————————————————————————————————————————————————————
DANANG PAMUNGKAS
- Sumber: https://www.bukuindie.com/resensi-resep-membuat-jagat-raya-ketika-gadis-berusia-7-tahun-menerbitkan-buku-sendiri/
Leave a Reply