Oleh Riki Kurnia
Jujur saja, membaca Naya memberi saya rasa eureka, sebuah sensasi menemukan seraya diiringi dengan rasa iri nan indah. Sensasi menemukan itu berasal dari kriteria menggelikan dari saya yang mengandaikan sosok ideal anak-anak seperti dia. Sedang rasa iri muncul begitu saja karena kesadaran bahwa saya tidak mendapatkan kesempatan yang sama saat seusianya. Saya serasa diajak oleh Naya untuk melakukan kembali petualangan imajinasi nan estetis, yang dulu saya tempuh begitu saja untuk kemudian lusuh dalam kepala. Naya berhasil mengundang kembali ingatan-ingatan lusuh itu, juga sederet pertanyaan kala masih anak-anak yang belum sempat mendapat jawab.
Sesuai dengan pengantar dari sang Bunda, “Kuberi putriku petualangan pertama, ensiklopedia dunia”, buku Resep Membuat Jagat Raya berhasil menunjukkan bagaimana Naya berpikir dalam merespon petualangannya. Naya telah melibatkan proses menakar dan menalar juga memilih dan memilah dalam setiap kesimpulannya, sehingga pilihan kata dalam puisi-puisinya kerap tak terduga dan memang khas dia. Kekhasan itu saya kira, tak lepas dari cita-cita Naya yang hendak menjadi koki. Hal tersebut terbukti dari judul buku yang menggunakan kata “Resep”. Untuk membuat resep, kita tahu tidak boleh sembarangan.
Resep rahasia Naya dalam meracik kata-kata terletak pada bagaimana ia berpikir.
Karena berpikir merupakan aktivitas mental, maka ia bersifat ruhani, tidak serta-merta merujuk pada otak yang bersemayam di dalam kepala, ia berada pada dimensi yang bebas tanpa terikat. Henry Bergson menjelaskan bahwa proses memperoleh pengetahuan tak dapat dilepaskan dari peran elan vital yang senantiasa bergerak seperti riak ombak untuk kemudian menuntun kita pada intuisi. Begitupun Naya, kebebasan berpikir yang dia punya telah menuntunnya pada intuisi. Apa yang ia pikirkan kerap melompat-lompat dari satu bidang ke bidang yang lainnya, sehingga proses menalar dan menakarnya demikian kreatif dan tak terduga.
Adalah Arthur Koestler dalam bukunya bertajuk The Art of Creativity yang mengajukan teori berpikir bisosiatif sebagai cara melukisan proses kreativitas. Koestler menganggap bahwa dalam proses berpikir kreatif, pikiran dalam mencari jawaban terhadap suatu persoalan pada suatu bidang pengembaraan berlangsung terus tanpa penemuan hasil, sampai akhirnya ditemukan bidang lain. Pikiran melompat atau menemukan bisosiatif ke dalam bidang baru dan menemukan jawaban persoalan. Kedua bidang saling terpisah dan pada permukaannya tidak berhubungan sama sekali, akan tetapi setelah terjadi loncatan antarbidang, terlihat jawaban yang orisinil dan unik terhadap persoalan tersebut.
Saya ambil beberapa contoh kutipan puisi Naya yang menunjukkan aktivitas berpikir bisosiatif ini. Misal, ketika Naya berusaha menjelaskan sosok Saut Situmorang sebagai “lelaki berambut tali tambang tercelup tinta” (hlm. 51) atau bagaimana Naya mejelaskan ayam dengan rutinitasnya berkokok saban pagi menggunakan kalimat “ayam seperti bunyi jam” (hlm. 71). Kedua analogi tersebut menunjukkan bagaimana Naya berpikir tidak hanya dalam satu bidang, melainkan melompat pula pada bidang lain, sehingga kiasan atau metafora yang ia tawarkan demikian unik dan khas. Setidaknya saya menemukan sebanyak 161 kiasan seperti itu yang bertebaran dalam seluruh puisi-puisinya.
Siapa pun yang membaca Naya, menurut saya, akan didera penasaran tentang buku apa saja yang sudah ia baca. Melihat dari kemampuannya merangkai kata, juga bermain-main dengan metafora, menunjukkan bahwa ia memang sudah terbiasa dengan permainan bahasa beserta perangkat logikanya. Jean Piaget mengatakan bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri. Baginya, perkembangan kognisi anak memungkinkan mereka berkembang untuk memahami makna di balik simbol-simbol atau metafora.
Metafora bagi anak berfungsi untuk membantu mereka memperoleh pemahaman terhadap pengalaman. Dengan bermain metafora, anak memproses situasi atau masalah yang asing bagi mereka dengan menggunakan media yang akrab. Dari 161 metafora yang saya temukan, sebagian besar menggunakan permisalan-permisalan yang memang akrab. Contohnya dalam puisi berjudul “Gembira” (hlm. 44) hampir seluruh barisnya berisi metafora yang akrab dengan kesehariannya.
Kendati demikian, tidak semua yang Naya ungkapkan adalah hal-hal yang akrab dalam keseharian. Apa yang Naya ungkapkan merupakan hal-hal kecil yang mungkin telah usang di ingatan kita—sebagai orang dewasa—tapi ditulisnya dengan perspektif yang khas anak-anak, sehingga hal-hal yang telah usang di ingatan kita menjadi segar kembali. Puisinya yang bukan merupakan hal-hal yang akrab dengan keseharian, misalnya terdapat dalam puisi berjudul “Budak” (hlm. 38) dan “Papua” (hlm. 40), keduanya merupakan semacam rangkumannya dalam membaca buku sejarah.
Kita juga akan serta merta menduga bahwa puisinya berjudul “Calon Arang” (hlm. 37) adalah judul yang sama dengan salah satu bukunya Pramoedya Ananta Toer. Bayangkan, anak seusia tujuh tahun sudah baca Prameodya! Bahkan, saat halaman pertama membuka buku ini, kita akan langsung disentak dengan sebuah puisi yang akan membuat kening kita berkerut dan pertanyaan pun bergelayut, “ini anak habis baca apa?” Sebab dalam puisi pertamanya di buku ini, ia langsung membahas salah satu permasalahan kosmologi: bagaimana semesta ini bermula.
Selain itu, konsumsinya terhadap tivi besar turut serta memperkaya nalar. Ada beberapa puisinya yang memang terinspirasi darinya. Naya membuat semacam resensi terhadap buku-buku yang ia baca atau sederet film yang telah ditontonnya ke dalam sebuah puisi. Membacanya tentu akan memberikan keasyikan tersendiri. Dari keseluruhan puisi yang ada dalam buku ini, saya dihadapkan pada sebuah pertanyaan: anak ini banyak membaca, dia hendak jadi apa? Tapi dengan kepolosannya ia menjawab, “Kenapa aku suka membaca? Biar pintar seperti bunda.” (hlm. 34).[]
Perpustakaan Kota Jogjakarta, 2017
Leave a Reply