Oleh Safar Banggai
Saat penggalangan dana untuk Saut Situmorang, yang sedang menjalani masa sidang kasus “pencemaran nama baik” atau tentang polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Di kawasan parkiran Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada pertengahan 2016, ada bocah cilik berjalan cepat, naik ke atas panggung dan ia membaca puisi.
Tut-tut!!! Suara kereta api
Seperti kentut, aku terbangun,
Aku memakai jaket bolongku,
Aku melihat keluar ada kereta api
Sepanjang pensil, dan aku mendekatinya. Setumpuk salju
Warna putih membuat aku lambat
Selambat seekor siput. Lalu seorang
Lelaki dewasa mengajakku naik kereta.
Aku menghampirinya, dia mengajakku
Sambil bilang. “Ini adalah Polar Express.”
Tapi aku tak mau, kereta berangkat.
Aku mengejarnya secepat harimau.
(Polar Express, 2016)
Setelah pembacaan puisi, semua penonton bertepuk tangan dengan gemuruh. Gemuruh tepuk tangan dari penonton menghentak pikiran saya yang sempat berpikir tentang kecerdasan si bocah cilik itu.
Puisi Polar Express masuk di buku Sehimpun Puisi Resep Membuat Jagat Raya pada halaman 36. Mungkin pembaca berumuran 20 tahun ke atas akan menganggap bahwa puisi ini biasa saja. Apa iya biasa saja? Saya mengatakan ini luar biasa. Bait setumpuk salju / warna putih / membuat aku lambat / selambat seekor siput adalah bait yang sepantasnya dipikirkan oleh anak berusia 7 tahun. Tapi untuk anak yang peka dengan lingkungan dan bacaannya, yang mampu mengikat ihwal tersebut.
Berusia belia tapi pikiran melampaui jauh dari umurnya, sangat langka kita temukan pada anak seumuran Abinaya Ghina Jamela. Tertulis di biodata Naya — sapaan Abinaya Ghina Jamela — lahir pada 11 Oktober 2009. Mungkin pembaca tidak yakin bahwa Naya sendiri yang menulis puisi-puisi dalam buku kumpulan puisinya. Tapi di tiap halaman terlampir tulisan tangan Naya sehingga keraguan itu gugur dengan sendiri.
Kita seperti ahistori tentang orang muda yang cukup berpengaruh di Indonesia. Dan kita kerap merasa yang mampu melakukan segala hal di tanah air ini cuma teruntuk orang tua. Kenaifan itu mesti kita kubur secepat mungkin.
Larik puisi Pahlawan (buat Nermi Silaban) halaman 68, Naya menulis dia ajariku melukis / menulis puisi, berenang, membaca, berdiskusi / dan menonjok anak anak yang nakal padaku. Terlihat siapa yang ajari Naya membaca dan menulis puisi sehingga melahirkan karya luar biasa ini. Sebab anak di masa tumbuh kembang akan menjadi baik dan berpotensi apabila dididik oleh orang tua yang paham keinginan anak.
Pernyataan yang saya masih ingat kala kecil yaitu “jangan bertanya seperti itu”, “jangan lakukakan itu”, atau “jangan berpikir semacam itu.” Jangan, jangan, dan jangan. Anak kecil dilabeli kata “jangan” dan orang dewasa dilabeli kata “boleh”. Ada semacam tekanan imajinasi yang dilakukan orang dewasa terhadap anak kecil. Padahal majinasi adalah sumber dari penemuan-penemuan besar yang pernah/akan lahir di bumi raya ini. Menukil diktum Albert Einstein: “Imajinasi lebih penting dari pada ilmu pengetahuan.”
Perhatikan puisi Resep Membuat Jagat Raya secara saksama. Bagaimana imajinasi begitu berpengaruh terhadap Naya:
Ambil sebutir proton
Yang sangt kecil
Lebih kecil dari pasir
Lalu lempar ketempat jauh
dan meledak lebih hebat
dari letusan gunung merapi
muncul jagat raya kosong
seakan rumah ditinggal penghuni
3 menit kemudian bumi dan
Matahari dan planet-planet
dan meteor bermunculan
jatuh di bumi seringkali
tanpa ampun bumi kesakitan
menangis menjadi air laut
dan muncullah bulan
dari debu bumi dan aku
tak bias ke matahari dengan
suhu sepuluh miliar dearajat.
(2016)
Saya tak kaget bila Naya lihai memainkan diksi dengan baik dan imajinasinya yang luas seluas jagat raya. Sebab menurut Yona Primadesi — ibu Naya — dalam kata pengantarnya bahwa buku ini merupakan hasil dari kegemaran juga ketekunan Naya bereksplorasi serta meramu (hlm. ix). Dan cara Naya mengeksplorasi benda-benda di sekitar untuk bias menemukan sebuah metafora, sungguh menggugah. Meraba-raba permukaan, memerhatikan setiap sisi dengan saksama, menyandingkan dua atau tiga benda untuk kemudian mengamati dengan serius, membolak-balik halaman buku, atau sekadar bertanya untuk memastikan sifat, adalah hal-hal yang selalu dilakukan Naya sebelum menuliskan metafora (hlm. x-xi).
Lagi perkataan Yona bahwa sejak Naya lepas dari ketergantungan terhadap pesawat televisi dan telepon pintar, buku memang menjadi rekan andalannya. Kebiasaan membaca inilah yang memberi pengaruh besar terhadap tulisan-tulisan Naya. Perlu diketahui Naya telah tuntas membaca Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Dan juga, Naya membumbui 22 gambar dalam buku terbitan Kabarita ini serta memiliki interpretasi berbeda-beda.
Mengutip ulasan singkat di vice.com bahwa “puisi-puisi Naya sederhana, jujur, dan apa adanya; bukan barisan kalimat yang menggetarkan, tapi menghanyutkan. Membaca Resep Membuat Jagat Raya membuat kita malu, betapa dunia bocah begitu kompleks dalam kesederhanaannya.”
Leave a Reply