Fenomena Naya: Syair Anak vs Puisi Anak

Dedy Tri Riyadi

Di luar negeri, ada dikenal Nursery Rhyme atau Syair Anak. Puisi yang bahasanya mudah dipahami anak-anak meskipun jika ditelisik artinya akan merujuk pada suatu peristiwa bersejarah, atau semacam petuah. Semisal Hickory Dickory Dock, Jack and Jill, atau Humpty Dumpty.

Nursery Rhyme yang diajarkan pada kanak-kanak itu kadang mirip teka-teki, seperti pada Humpty Dumpty, kadang juga seperti tengah bercerita biasa, contoh Jack and Jill yang mengisah dua orang anak naik ke bukit untuk mengambil air tapi malah mereka jatuh susul menyusul, bertindihan. Sedangkan yang seperti petuah contohnya Row, Row Your Boat, yang pernah viral di youtube bahwa itu sebenarnya sebuah pesan untuk menjalani hidup ini.

Dari menelisik Nursery Rhyme, saya pernah membaca bahwa syair anak-anak ada juga yang merupakan cara mencemooh sebuah peristiwa, di mana secara secara sadar tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa itu disamarkan sedemikian rupa sampai-sampai mereka yang disindir atau disebut dalam syair tersebut tak mengetahuinya, bahkan kita yang mendengarnya pun harus mencari-tahu berkenaan dengan apa sebenarnya syair itu.

Di Jawa, Jawa Tengah khususnya, ada beberapa lagu anak-anak (lagu dolanan) pun memiliki kesamaan dengan nursery rhyme. Yang kelihatannya dari pilihan kata dan bangunan syairnya, biasa-biasa saja, tetapi punya nilai atau arti religiusitas yang tinggi. Seperti lagu dolanan Ilir-ilir atau Gundul Gundul Pacul yang punya hubungan bagaimana menjalani kehidupan, lagu dolanan Sluku Sluku Bathok juga syair menyoal agama atau keyakinan dalam hidup.

Syair anak baik di luar negeri maupun di dalam negeri ditulis bukan oleh anak-anak, melainkan oleh mereka yang telah paham situasi politik, satire, komedi, bahkan filosofi. Lagu dolanan Ilir Ilir bahkan ditulis oleh seorang Sunan.

Pendidikan Sastra Sejak Dini

Lewat syair anak, di sekolah-sekolah pra SD luar negeri, anak diajarkan mengenal sastra. Semisal cara membuat rima atau sanjak, mengenal penegasan pengucapan (kakafoni, eufoni), pengulangan konsonan, bahkan membuat perlambang (metafora). Tentu, mereka juga diajar tentang metrum dan irama, karena rata-rata syair anak bisa dinyanyikan.

Di Indonesia, murid-murid diperkenalkan puisi secara formal begitu duduk di Sekolah Dasar, itu pun pada kelas yang dianggap murid-muridnya sudah lancar membaca dan menulis (kelas 2 atau kelas 3). Saya ingat dulu menghafal puisi Gadis Peminta-minta karya Toto Sudarto Bachtiar atau Diponegoro karya Chairil Anwar.

Fenomena Naya (Abinaya Ghina Jamela) yang menulis puisi di umur 8 tahun bagi saya sesuatu yang di atas rata-rata. Tidak adil memang membandingkan pengalaman saya di sekolah dasar dulu yang baru taraf menghafal saat itu, dengan Naya yang sudah bisa menulis puisi sekarang ini, tapi saya rasa kenyataannya memang seperti itu secara umum. Sebab kalau tidak, tidak mungkin Mbak Yona Primadesi, ibunda Naya, begitu bangga padanya.

Dulu, saya cukup sering membaca majalah anak-anak, dan seingat saya untuk anak seusia Naya, kalaupun dia menulis puisi, akan berpuisi yang tak jauh dari lingkungannya. Tentang anjing kesayangannya, sebuah bunga sepatu, atau liburan ke rumah nenek. Hampir semua didasarkan pada pengamatan atau perasaannya kepada pengalaman itu.

Puisi anak-anak pada masa itu sampai sekarang ternyata belum berubah. Pada halaman sastra sekolah atau sastra anak yang ada di surat kabar akhir pekan, rata-rata juga masih bicara dengan pengamatan dan menyusun puisinya begitu deskriptif, atau naratif, dan memuat emosi secara tertulis (semisal “Aku senang, aku sedih, betapa bahagia, dll.)

Terakhir saya berbincang dengan seorang pengajar sastra di sekolah menengah atas, dia menunjukkan sebuah puisi buatan remaja didikannya, dia mengatakan bahwa pilihan kata, diksi, dan metafora remaja sekarang sangat variatif. Artinya, perubahan gaya menulis dari yang naratif deskriptif menjadi imajinatif di Indonesia (bukan sebuah kesimpulan umum sebenarnya, hanya dugaan) punya waktu kurang lebih 8 tahun lamanya. Ini tentu berkaitan erat dengan lingkungan dan pribadi anak tersebut.

Ada satu remaja lagi yang menjadi buah bibir di kalangan penggiat sastra di Indonesia yang usianya baru sekitar 15 tahun, Muhammad De Putra nama penanya, dan puisinya baru saja memenangkan lomba puisi tingkat SMP se Indonesia Raya. Namun, seorang penyair mengatakan bahwa puisi seorang remaja belum tentu berisi karena pemahamannya tentang hidup ini tentu belum mencukupi. “Bagaimana dia bisa bicara dosa kalau dia belum baligh?” Begitu sanggahannya.


Lalu, bagaimana dengan Naya?

Dunia anak erat dengan imajinasi. Pengamatan dan pertanyaan adalah bahan baku mereka untuk menyampaikan imajinasi mereka. Naya memperlihatkan hal itu pada semua puisi-puisinya. Saya menduga, dia adalah anak yang cerewet menanyakan ini itu pada ibundanya, lalu mengatakan banyak hal di pikirannya, atau, seperti buku puisi ini, menuliskannya. Jarang memang anak kelas satu, dua, tiga SD yang baru lancar-lancarnya menulis, akan rajin menulis. Banyak malah dari mereka ketika dapat PR menulis akan mengeluh, “Capek!” Dan saya menduga, Naya bukanlah anak seperti itu.

Beberapa waktu lalu, seorang penyair lain, mengenalkan metoda penulisan yang mengambil nama Naya dan mengajarkannya pada beberapa teman penyair lainnya. Karena kesibukan, dan waktunya malam hari, saya tak berkesempatan untuk bisa mengikuti. Namun, itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Naya sudah melebihi kemampuan anak-anak sebayanya, sampai-sampai apa yang dilakukan Naya dalam berpuisi ditelaah dan menjadi satu hal tersendiri dalam menulis.


Secara umum, puisi-puisi dalam buku Resep Membuat Jagad Raya adalah penceritaan ulang ditambah dengan emosi dari apa yang dia lihat, dia baca, dia rekam dari pengalaman hidupnya sebagai anak-anak. Penyampaiannya, agak umumnya dengan anak-anak lainnya, adalah naratif-deskriptif. Luapan emosi yang banal (wajar, karena memang dia masih anak-anak) masih tertuang di beberapa puisi.

Pilihan kata, atau diksi, yang dilakukan Naya tentu berbeda dengan anak-anak lainnya, karena dalam pengantar Naya disebut telah membaca Ensiklopedia. Aneka nama, benda, yang Naya serap dari buku dan film juga bertaburan. Uniknya, dan ini diulang di beberapa puisinya, Naya menulis tentang Paris (dan ada satu gambar tentang Paris) sehingga membuat saya berpikir, mengapa Paris begitu lekat di benak Naya, dan mungkin Naya harus nonton film animasi Leap! (Ballerina) yang berlatar Paris ketika menara Eiffel sedang dibangun.

Saya teringat ada pelukis perempuan dari Bandung, dan dia sudah dewasa, (maaf, saya lupa namanya) yang dianggap naif karena “terperangkap dalam pandangan anak-anak” dalam setiap melukiskan obyek. Ya, mirip seperti lukisan Naya yang ada dalam buku Resep Membuat Jagad Raya ini juga. Dan dia konsisten dengan gaya “anak-anak” itu (makanya disebut naif).

Saya bayangkan jika Naya segera menemukan “postulat” untuk membuat puisi ‘ala Naya yang akan dipertahankan sampai kapanpun. Sebab jika tidak, sesuai perkembangan daya nalar, pastinya puisi-puisi Naya akan berubah mengikuti usia Naya.


Tentu sangat sadis jika ada yang mengatakan pada puisi-puisi Naya untuk “memilih lawan sepadan” dalam kancah perpuisian di Indonesia, karena hakikatnya puisi, termasuk puisi anak, juga bisa menjadi bahan penelitian, perbincangan, atau pembahasan di dalam bangunan yang bernama sastra Indonesia. Naya bisa dianggap sebagai satu fenomena bersama Faiz yang dulu sempat melejit dan digadang-gadang akan jadi penyair besar oleh Taufik Ismail, dan Muhammad De Putra dalam porsinya masing-masing.

Tak berlebihan jika dalam sampul buku Naya ditulis “untuk semua orang” karena kehadiran puisi memang harus dirayakan, dinikmati, dibagikan oleh siapa saja, termasuk saya dan para penyair yang sudah senior. Mengapa demikian? Karena syair anak, seperti gambaran di awal tulisan, dulu dibuat oleh yang bukan anak-anak. Barangkali, dengan adanya Naya, bisa dibuat satu kategori lagi, syair anak yang ditulis anak-anak.

Saya membayangkan jika buku Naya ini masuk nominasi Kusala Khatulistiwa Award 2017, tentu dunia sastra Indonesia akan gempar, dan banyak yang menuntut dibuatkan klasifikasi baru dalam puisi Indonesia, minimal seperti yang dilakukan surat kabar di halaman sastra anak.

Penghargaan setinggi-tingginya, saya ucapkan pada ayah dan bunda Naya yang berhasil menjadikan Naya punya buku puisi sendiri di usia 8 tahun, bandingkan dengan saya yang baru bikin puisi di usia 32 tahun (itu pun keroyokan!). Dan saya berharap, Naya terus mencapai sesuatu dalam puisinya, sesuatu yang berbeda dengan apa yang bisa disebut atau digolongkan puisi anak, puisi remaja, yang benar-benar genuine dan original. Karena berdasarkan pengalaman, seperti Sapardi, Jokpin, mereka membuang puisi-puisi masa remaja mereka agar tak bisa dilacak bagaimana proses mereka menemukan puisi yang dianggap khas Sapardi atau Jokpin itu. Dan mereka melakukannya setelah mereka mengalami kedewasaan atau kematangan berpikir pada puisi-puisi mereka.

Sebagai akhir tulisan, saya persembahkan satu puisi untuk Naya, yang saya terjemahkan secara bebas dari syair anak-anak “À Paris sur mon petit cheval gris.”

Naik Kuda Kecil Kelabu Ke Paris

Ke Paris, ke Paris,

naik kuda kecil kelabu.

Ke Rouen, ke Rouen,

naik yang kecil putih itu.

Ke Toulon, ke Toulon,

pakai yang kecil pirang.

Dan mari pulang ke rumah,

dengan yang kecil hitam.

Ayo, berpacu! Berpacu!

*ditulis sebagai penghargaan sebuah upaya.

Jakarta, 2017

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: