Liputan Suara Merdeka, 17 Januari 2016

FB_IMG_1453016895595

Ramai-Ramai Bela Saut

Tut-tut!!! suara kereta
api seperti kentut aku terbangun
aku memakai jaket
bolongku. Dan aku melihat
keluar ada kereta
api sepanjang pensil
dan aku mendekatinya.
Setumpuk salju warna putih
membuat aku lambat
selambat seekor siput
Lalu seorang lelaki
dewasa mengajakku
naik kereta lalu
aku menghampirinya
dia mengajakku sambil bilang
”Ini adalah Polar Express”
tapi aku tak mau
kereta berangkat
aku mengejarnya
secepat harimau

01EM17a16MGU-03

PUISI berjudul “Polar Express” yang dibacakan Abinaya Ghina Jamela, bocah perempuan berusia enam tahun asal Padang, itu memecah suasana Panggung Seni dan Budaya di kampus timur UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Selasa (12/1) malam. Penampilan Naya, sapaan akrab Abinaya Ghina Jamela, malam itu bukanlah satu-satunya. Ada belasan penyair dan mahasiswa yang berpuisi. Tak hanya puisi, tetapi juga musik, stand up comedy, dan teater.

Panggung itu digelar sebagai wujud perlawanan atas kasus kriminalisasi yang menimpa sastrawan Saut Situmorang. Mereka datang dari beberapa komunitas, antara lain Gerakan Literasi Indonesia, Komunitas Baca Novel Pram, Komunitas Teater 42, UKM Musik UMY, Rumah Baca Komunitas, Pojok Baca, Sanggar Nusantara, Rakyat Sastra, dan Pojok Kantin.

Sementara itu, puisi-puisi karya Saut Situmorang bergantian dibacakan di kebun yang disulap menjadi panggung kebebasan, Minggu (10/1) di Taman Sastra Guyub di Desa Bebengan, Kecamatan Boja, Kendal. Spanduk besar bertuliskan “#SaveSaut dan Lawan Kriminalisasi Sastra””terpasang di panggung kayu di bawah rumah pohon. Meski turun hujan, aksi yang digelar pegiat sastra yang tergabung dalam Aliansi Sastra Kendal itu tetap berlangsung.

Tak hanya aksi di panggung, gerakan solidaritas untuk Saut Situmorang juga telah berlangsung sejak 2014 baik melalui petisi maupun menggalang #SaveSaut melalui media sosial. Minggu (17/1) pukul 10.00 ini pun, pegiat sastra dan seniman di Kota Semarang menggelar aksi solidaritas “#SaveSaut” di Taman Budaya Raden Saleh”(TBRS).

Beberapa acara telah disiapkan, antara lain “dompet Saut”, baca puisi, musik, aksi teatrikal, dan diskusi “Kenapa #Save_Saut?”. Ada pula “Aksi Malam Budaya JKP 109: Solidaritas untuk Saut Situmorang” yang digelar Sabtu (16/1) di Jatijagat Kampung Puisi (JKP), Jalan Cok Tresna 109 Renon, Denpasar.

Acara berupa pembacaan puisi, musikalisasi, musik, serta diskusi “Pasal Karet UU IT, Medsos, dan Kesenian” dengan pembicara Maulana Rizky. Kriminalisasi terhadap Saut Situmorang dalam kasus penolakan buku 33 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sastra Indonesia memantik perlawanan, baik dari Saut maupun dari kalangan penulis dan pegiat sastra, terutama dari kalangan muda.

Perdebatan di seputar buku itu meluas di media sosial karena konsultan politik Denny JA dijadikan salah seorang tokoh sastrawan besar, sejajar dengan Chairil Anwar dan Pramoedya Ananta Toer. Saut pun getol mengkritik buku itu.

Fatin Hamama yang tidak terima atas kritik itu melaporkan Saut ke polisi karena Saut menyebut kata “bajingan” di laman grup Facebook Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Saut, yang saat ini berdomisili di Yogyakarta, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur dalam waktu dekat ini.

Pengajar Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Katrin Bandel, menyatakan perdebatan dan perselisihan adalah wajar dan sudah seharusnya di dunia intelektual, termasuk sastra. Namun dalam kasus buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, perdebatan itu sungguh di luar kebiasaan.

Bukan saja kasus itu sendiri, khususnya penobatan Denny JA sebagai salah satu ”tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh”, ujar Katrin, bersifat cukup ekstrem. Hal yang sangat aneh dan tidak lazim terjadi dalam perdebatan di dunia sastra, yaitu diskusi intelekual antarsastrawan dan pegiat sastra seputar buku itu dibawa ke ranah hukum serta disosialisasikan lewat media massa di luar konteks dunia sastra.

‘’Tindakan itu cukup memprihatinkan karena dalam sosialisasi lewat media massa tersebut terjadi usaha penggiringan opini publik yang cukup mencolok. Perhatian dialihkan dari substansi kritik terhadap buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pada lontaran berupa kata ‘bajingan’ dan ‘penipu’ yang hendak dilepaskan dari konteks perdebatan.

Fokus digeser dari Denny JA ke Fatin Hamama,’’ tutur Katrin. Aliansi Anti-Pembodohan (AAP) Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh pun meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menghentikan penyebaran buku dan mendiskusikan lebih dahulu. ‘’Apakah buku itu memang layak dibaca atau tidak dan apa konsekuensinya.

Saya kecewa, karena polemik yang seharusnya terjadi di wilayah perdebatan sastra justru dibelokkan ke ranah hukum,’’ kata inisiator APP, Dwi Cipta. Tak pelak, kata Dwi, implikasi kasus Saut ke dunia sastra akan dengan sangat mudah pemodal mengobok-obok atau menghancurkan tradisi dan konvensi yang telah dibangun lama dan terus berlaku di dunia sastra hanya demi kepentingan pemodal.

‘’Setelah belasan tahun kehidupan kritik sastra di Indonesia tak berkembang karena buruknya pendidikan sastra di kampus dan sekolah, peristiwa kriminalisasi ini menguatkan pandangan bahwa para kritikus kita bisa dibeli dengan uang,’’ katanya.

Implikasi kedua, imbuh dia, tidak ada standar umum yang bisa dipakai dunia kritik sastra. Standar atau tolok ukur kritik dan apresiasi sastra bisa setiap saat berubah jika uang dan atau kekuasaan menginginkan.

Bila standar dan tolok ukur karya yang bagus atau orang yang punya ditentukan oleh uang dan kekuasaan, ke depan kurikulum sastra di Indonesia juga sangat mudah berubah. ‘’Itu membahayakan karena akan muncul implikasi ketiga berupa bahaya penipuan dan pembodohan sastra Indonesia pada generasi pembaca sastra pada masa datang,’’ tandas pegiat Gerakan Literasi Indonesia itu.

Bentuk penipuan dan pembodohan sastra itu, kata Dwi, bisa dilihat dari menghilangnya nama tokoh sastra yang punya rekam jejak di dunia sastra jelas sangat hebat. Yang muncul kemudian adalah orang yang tak diketahui oleh publik sastra punya rekam jejak kuat di dunia sastra dan tiba-tiba ditahbiskan sebagai tokoh sastra dan karyanya dianggap luar biasa.

Menabrak Kebebasan

Lalu, bagaimana implikasi penerapan Undang-undang ITE itu terhadap kemerdekaan menyatakan pendapat dan berkarya? Dwi menuturkan UU ITE jelas menabrak kebebasan menyatakan pendapat yang merupakan hak asasi semua orang.

‘’UU Nomor 11 Tahun 2008 itu pada dasarnya metamorfosis dari haatzaai-artikelen, yang tercantum dalam Wetboek van Strafrech (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) atas dasar exorbitante rechten (hak-hak luar biasa) Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Jadi UU ITE jelas-jelas bersemangat kolonialis yang ingin membungkam terus budaya kritik di kalangan masyarakat,’’ kata dia. Dia menilai jika sastrawan generasi lama tak mampu membaca fenomena itu, mereka akan tersingkir cepat.

Dalam 10 tahun ke depan akan terlihat arsitektur kesusastraan Indonesia berubah oleh anak-anak muda kreatif. Artinya, sinyal dari penulis tua dan yang mengaku diri senior telah bernyala kuning. Bagi Sigit Susanto, salah satu pendiri Komunitas Apresiasi Sastra (Apsas), UU ITE memang tak langsung melarang buku beredar. Namun memasung gagasan sebagai embrio karya sastra, termasuk diskusi alot bercampur ironi.

‘’Sepertinya sastra harus punya hukum tersendiri. Karena sastra tak hanya bersinggungan dengan fakta, tetapi terbalut khayalan, imajinasi yang tak kenal batas. Jika Rafik Schami, pengarang Suriah di Jerman, menyebut VS Naipaul itu monyet kolonialisme, apakah harus menyeret dia ke pengadilan? Menurutku, UU ITE tidak pantas diberlakukan.

Semua ide kreatif yang akan menghadirkan karya tersandung di situ,’’ kata dia. Saut mengemukakan kriminalisasi yang menimpanya merupakan usaha teror untuk membungkam dia. Ketika diperiksa di kantor polisi, Saut pun berkali-kali didekati beberapa polisi dan diminta “berdamai” dengan Fatin Hamama. ‘’Bagi saya, hanya ada satu jalan damai. Si pelapor mencabut laporan dan semua selesai. Di luar ini, sori, sampai jumpa di pengadilan,’’ kata Saut ketika berbincang dengan Suara Merdeka, kemarin.

Sebagai sastrawan, kasus yang menimpa dia adalah preseden buruk bagi kebebasan berpendapat yang merupakan hal sangat penting bagi semua seniman di mana pun di dunia ini. ‘’Kalau sastrawan/seniman diancam dipidanakan hanya karena bersuara keras waktu memprotes ketidakbenaran, itu berarti kekritisan seniman telah dibungkam terhadap persoalan di masyarakat,’’ tandas Saut lantang.

Akhirnya, yang dikhawatirkan banyak orang atas kasus Saut saat ini adalah upaya pengalihan isu dari polemik sastra menjadi urusan personal. Dengan pengajuan Saut ke pengadilan, fokus banyak orang akan tertuju ke kasusnya. Bukan ke polemik buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. (Muhammad Syukron-51)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: