Di perjalanan kemarin, Naya bertanya pada saya mengenai “buku” karyanya. Pertengahan tahun silam, melihat antusias Naya dalam menulis, saya bercita-cita (dan mendiskusikan juga dengannya) untuk menerbitkan semua tulisan dan gambar-gambar Naya dengan tajuk “Aku, Pensil, dan Kertas”. Sejak itu Naya semakin giat menghasilkan karya, entah puisi, prosa, gambar, bahkan (katanya) juga naskah film. Sayangnya niat tersebut belum bisa saya realisasikan karena beberapa alasan. Dan sebagai imbasnya, saya semakin sering menerima pertanyaan-pertanyaan dari Naya mengenai penerbitan bukunya tersebut: sebesar apa ukurannya, di mana nanti teman-temannya bisa menemukan buku tersebut, apakah bukunya juga akan dipajang di Gramedia, hingga foto yang mana dan apa saja yang harus dicantumkan pada bagian profil belakang bukunya, kelak, seperti halnya kemarin sore.
Lalu apakah saya berharap Naya akan menjadikan menulis sebagai sebuah profesi? Saya memang menyimpan mimpi bahwa kesukaan Naya terhadap menulis, nantinya, sama besarnya atau mungkin lebih dibanding saat ini. Saya ingin Naya bisa menuliskan apa saja untuk berbagi dengan banyak orang. Sebab seperti kata Pramoedya, manusia hanya akan hidup lewat tulisannya, bukan lisannya. Keinginan saya tersebut semakin “diperbuas” oleh minat dan kemampuan Naya dalam menuangkan ide-ide juga betapa menulis telah semakin berjarak dengan masyarakat kita, terutama pada anak-anak seusia Naya. Menulis semakin menjadi hal yang bersifat “lux”. Tidak hanya dikarenakan budaya lisan masyarakat kita yang sudah mendarah daging, tetapi juga imbas dari kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang tidak dibarengi dengan masyarakat yang literet terhadap media dan informasi. Melisankannya jauh lebih mudah ketimbang harus menuliskannya, lalu buat apa repot-repot harus menulis, bukankah ini jaman instant? Karena alasan itulah, saya ingin membiasakan Naya untuk menulis. Apa yang harus ditulis Naya? Apa saja.
Awal Naya bbelajar menulis, berangkat dari hal-hal sederhana. Ketika membaca buku, Naya akan selalu memiliki banyak pertanyaan. Entah itu berhubungan dengan istilah-istilah baru, imajinasinya mengani bacaan, hingga perbandingan yang ia peroleh antara bahan bacaan dan realita yang ia lihat. Menyenangkan? tentu saja. Tetapi ketika pertanyaan itu muncul setiap setengah menit dan ia bolak-balik menyela konsentrasi saya, saya harus berfikir bagaimana mensiasati hal tersebut.
Saya memberikan selembar kertas dan pensil pada Naya, memintanya untuk menuliskan terlebih dahulu semua pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di kepalanya, baru setelahnya kami mendiskusikan hal tersebut satu-persatu. Dan tentu saja Naya harus mempresentasikan kembali pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada saya (Meminjam istilah Naya: Bunda kejam!) Ternyata taktik tersebut cukup berhasil, meskipun tetap saja bukan Naya namanya jika tidak cerewet dan menyuguhi saya dengan banyak pertanyaan.
Kami juga mulai membuat sebuah kebiasaan-kebiasaan baru. Ketika salah satu di antara kami melakukan kesalahan, permintaan maaf tidak hanya cukup lewat lisan tetapi juga harus disampaikan melalui sebuah tulisan pendek. Apa yang harus dituliskan? Apa saja! Intinya pengakuan dan permintaan maaf (Lagi-lagi saya meminjam istilah Naya: Bunda kejam!) Naya lalu mendapat sebuah hadiah buku saku, yang tentu saja bergambar menara Eiffel. Menjelang tidur, Naya diminta untuk menuliskan hal-hal apa saja yang ingin dia kerjakan keesokan harinya. Di hari ulangtahunnya, Saya menghadiahi Naya sebuah buku diari. Terlalu dini untuk seorang anak berusia lima tahun? tentu tidak. Saya membantu Naya bagaimana cara mengisi buku tersebut dan hal-hal apa saja yang sebaiknya dan seperlunya ditulis di buku tersebut. Kami menyebutnya sebagai “Jurnal Harian Naya”.
DI awal sudah tentu bahasa yang digunakan Naya terasa geli dan tak jarang membuat saya tersenyum hingga tertawa sendiri. Oleh karena itu, evaluasi sangat perlu untuk dilakukan (Bagian ini, saya sangat berterimakasih pada Nermi Arya yang jauh lebih teliti dan telaten memperkenalkan bahasa Indonesia yang baik dan benar kepada Naya). Akan tetapi, ada hal-hal yang secara sengaja kami biarkan, sebagai ciri khas Naya seperti, nyeram. Dan berangkat dari kebiasan-kebiasaan kecil tersebutlah akhirnya membuat Naya untuk pertama kali mampu menulis sebuah puisi yang membuat tenggorokan kami lesap. Puisi tersebut berjudul “Budak”.
Lalu apakah kelak Naya akan menjadi seorang penulis? Bagi saya, itu tidak lagi menjadi penting. Ketika menulis sudah menjadi sebuah kebiasaan bahkan kebutuhan bagi seorang Naya, maka embel-embel yang disematkan padanya kelak, tidak akan berarti apa-apa. Saya hanya berharap Naya bisa terus menulis. Menulis untuk berbagi, menulis untuk membuatnya ide dan pemikirannya diingat, menulis untuk menjadikannya abadi.
Lagipula, jika ditanya apa cita-cita saat ini, Naya akan menjawab: Naya ingin jadi chef.
2015
Leave a Reply