Aku, Bunda, dan Monster Tembok*

Rumah Tua, karya Naya Lukisan Cat Air
Rumah Tua, karya Naya
Lukisan Cat Air di atas Kertas

Aku tidak pernah berfikir bahwa monster tembok itu benar-benar ada. Menurutku itu hanya rekaan Om supaya aku tidak lagi cengeng atau melanjutkan kebiasaanku memegang ujung rambut bunda. Aku pernah bertanya pada bunda mengenai hal tersebut, dan terus terang jawaban bunda meragukan. Bunda adalah orang yang paling aku percaya, tapi ketika bunda mengembalikan pertanyaan itu kepadaku,aku jadi bertanya-tanya tentang ketiadaan monster tembok, dan untuk mengatasi kebimbangan dan ketidakpastian, aku lebih memilih untuk berjaga-jaga. Menyusun semua bantal yang ada di sepanjang tubuhku pada tembok ketika beranjak tidur, yang barangkali bisa menghalangi monster tersebut untuk menangkapku. Ya, aku tidak ingin terperangkap di dalam tembok yang dingin dan gelap lalu tidak bisa bertemu bunda lagi.

Tapi siang ini aku begitu gelisah. Tidak seperti biasanya, di mana sekolah merupakan tempat yang paling aku nikmati bersama teman-teman. Cerita tentang monster tembok menghantui sepanjang hari. Ketika semua teman-teman mengangkat kedua tangan dan merapatkan jari untuk berdoa, aku tidak bisa melepaskan mataku dari sekeliling dinding kelas. Dinding serasa bergerak. Seakan ada sesuatu yang besar di dalamnya tengah menggeliat atau mungkin meronta untuk keluar. Apakah itu monster tembok? Apakah monster tembok benar-benar ada dan saat ini tengah mengejar-ngejarku?

Dengan sedikit rasa takut, aku mencoba meraba dinding tersebut menggunakan ujung-ujung jari. Ah ternyata dinding ini berbeda. Tidak seperti dinding kamarku yang dingin dan halus. Dinding ini terasa lebih kasar.Seperti ada butir-butir di permukaannya. Aku mengetuk-ngetuk pelan.Ahaaaaa, bunyinya pun berbeda. Tidak seperti dinding kamarku. Aku mulai berfikir, mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ketahui mengenai dinding. Ini bukan tembok tetapi kayu. Ini dinding kayu, bukan dinding tembok. Jadi, monster tembok tidak akan mungkin ada di dalamnya.

Aku tidak menyadari bahwa satu persatu teman-teman sudah beranjak meninggalkan ruang kelas hingga bu guru menegurku, “Naya gak pulang nak?”. Aku bergegas. berpamitan. Aku ingin segera pulang dan menceritakan apa yang terjadi siang ini pada bunda. Tapi aku kehilangan sebelah sepatuku.

Aku mencoba mengingat, barangkali aku salah menaruhnya tadi pagi ketika akan masuk kelas.Tetapi tidak. Aku selalu meletakkan sepatuku berdampingan di rak, persis disebelah pintu kelas, selalu begitu. Aku mencoba melihat sekeliling. Bukan. Bukan untuk mencari sepatu, tetapi mencari sosok jahil yang barangkali siang ini datang menjemputku ke sekolah. Tapi tidak ada siapa-siapa, bahkan juga bunda.

“Naya, ini sepatumu bukan?”, suara teteh Kanti mengagetkanku. Ia berlari mendekati sembari menjinjing sebelah sepatuku.Sepatu berwarna pink dan purple dengan gambar princess kesukaanku. Teteh Kanti mengatakan bahwa ia menemukan sepatuku di dekat tembok di ruangan bu Eva. Tapi bagaimana cara sebelah sepatuku ini bisa sampai di sana? Aku masih tidak habis pikir. Apakah ada hubungannya dengan monster tembok.

Aku ingin segera sampai di rumah, tapi tidak ada sesiapa yang aku kenali berdiri di taman untuk menjemput seperti biasa. Tidak bunda, tidak juga om. Aku mulai merasa khawatir. Aku kembali ke kelas menemui bu guru, menyampaikan bahwa siang iniaku ingin pulang menggunakan mobil sekolah. Bu guru menggeleng, “Naya, bunda naya ga ada memberitahu ibu agar mengijinkan Naya pulag dengan mobil sekolah. Mungkin bunda terlambat jemput. Naya tunggu aja sama Ibu di ruang depan ya?”.

Aku menggerutu kesal. Barangkali saat ini bu guru melihat mukaku seperti yang selalu digambarkan bunda ketika aku sedang kesal. Mata sedikit melotot, pipi membuntal dengan bibir yang sering aku julurkan ke depan. Kata bunda, seperti terompet dan sudah barang tentu jelek. Tapi aku benar-benar sedang kesal. Aku pikir ada sesuatu yang tidak beres terjadi di rumah. Aku mulai mencari akal. Mengerutkan keningku sembari mengetuk-ngetuk ujung telunjuk di jidat.

Ahaaaa…., aku punya ide cemerlang. Aku bergegas menggendong tas di punggung dan mengenakan topi bergambar Frozen yang tiasa menemaniku keman pun. Aku memperhatikan sekeliling. Teman-teman, mama-mama dan papa-papa yang menjemput anak-anak mereka, terutama ibu guru. Ketika mereka lengah, aku berlari sekencang-kencangnya meninggalkan sekolah. Aku bukan anak kecil lagi, umurku sudah lima tahun. Lagipula, bunda sudah mengajariku cara pulang. Jalur mana yang harus aku lewati, angkot warna apa dan nomor berapa yang harus aku naiki, dan di mana aku harus turun. Duit di dompetku pun cukup untuk ongkos pulang yang hanya dua ribu rupiah.

Di jalan, aku bertemu dengan sekawanan kera. Ya itu kera, bukan monyet. Iin sering bercerita tentang monyet-monyetnya, dan monyet berbeda dengan kera. Kawanan kera ini berkepala bulat. Sangat bulat. Seperti bola.Tapi jika melihat muka-muka mereka, mengingatkanku pada Koba. Koba adalahkera nakal yang memiliki dendam pada manusia. Koba tidak seperti monyet-monyet Iin. Tapi kawanan kera ini lebih kecil dari Koba. Barangkali mereka anak-anak Koba. Mereka berloncatan di hadapanku, menghalangi jalan. Beberapa di antaramereka berusaha menarik-narik tasku, bahkan ingin mencuri topiku. Aku memutuskan untuk berlari lebih kencang. Aku ingin sampai di rumah secepatnya.

Aku lelah sekali. Kakiku serasa mau putus. Jantungku berdebar-debar dan nafasku tersengal-sengal. Aku mengetuk-ngetuk pintu dan memanggil bunda, tapi tidak ada sahutan. Aku mencoba membukanya, dan ternyata tidak terkunci. Sekali lagi aku memanggil bunda, kali ini dengan suara yang lebih lantang, “Bunda…..”. Tapi masih saja tidak ada sahutan. Barangkali bunda sedang bersembunyi di suatu tempat dan menjahiliku. Aku membuka sepatu dan menaruhnya di rak. Di kamar tidak ada siapa-siapa. Di kamar mandi juga tidak ada. Aku mulai cemas. Aku kembali berteriak memanggi lbunda. Aku mencoba mencari di dalam lemari, di bawah tempat tidur, atau di lpatan karpet. Tapi tetap tidak ada.

Aku semakin cemas. Tiba-tiba aku menemukan tas coklat kesayangan bunda tergantung di loteng. Bagaimana tas itu bisa sampai ke sana dan bergelantung di situ?. Tiba-tiba sesuatu yang aneh terjadi. Tembok-tembok kamar mulai bergerak. Seperti ada seseorang yang menempel di sana dan ingin keluar. Seperti ada bekas kepala dan tangan lengkap dengan jari-jarinya di sana. Aku mencoba memanggil bunda sekali lagi, kali ini suaraku sudah seperti mau menangis.

Aku ingat apa yang dikatakan om. Aku tidak boleh menangis. Jika aku menangis, maka monster tembok akan keluar dari dinding itu dan menarikku ke dalamnya untuk dijadikan teman. Tapi aku takut. Perlahan, aku menempelkan tanganku pada tembok. Dingin sekali dan seperti ada sesuatu yang mencoba menarikku. Aku segera melepaskan tanganku untuk menjauh dari tembok. Ketika aku ingin lari keluar, tiba-tiba aku mendengarsuara bunda, “Naya, tolongin bunda. Bunda ditangkap monster tembok”.

Aku melihat ke sekeliling, mencari bunda, tapi tidak menemukan siapa pun. Hanya aku di ruangan itu. Aku semakin cemas. Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caraku menolong bunda? Bunda disembunyikan di mana?.

………………………… tunggu petualangan Naya berikutnya bersama Monster Tembok hingga ke Perancis dan bertemu Zombie.

* Adaptasi dari cerita lisan Naya: Aku, Bunda, dan Monster Tembok

One response to “Aku, Bunda, dan Monster Tembok*”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: