Ambil sebutir proton/ yang sangat kecil/lebih kecil dari pasir/lalu lempar ke tempat jauh/dan meledak lebih hebat/dari letusan gunung merapi/muncul jagat raya kosong/seakan rumah ditinggal penghuni/3 menit kemudian bumidan/matahari dan planet-planet/dan meteor bermunculan//
Serangkai kalimat di atas bukan teks ilmiah dalam Ensiklopedia, melainkan sebuah puisi berjudul “Resep Membuat Jagat Raya”. Puisi yang sangat imajinatif dan berani. Namun, puisi itu pun bukan dikarang oleh seorang ilmuwan, tak ditulis seorang filsuf, melainkan karya kreatif seorang anak yang baru berumur tujuh tahun.
Namanya Abinaya Ghina Jamela, gadis mungil yang masih duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Ia tak hanya menulis satu puisi di atas, tetapi telah menelurkan gagasan imajinatifnya menjadi delapan puluh puisi dalam bukunya Resep Membuat Jagar Raya setebal 81 halaman. Sebuah pencapaian kepenyairan yang belum tentu mampu dilakukan penyair dewasa.
Untuk membedah buku kumpulan puisi Naya, toko buku Toco.Buruan.co menggelar diskusi pada Sabtu (29/04/2017) di Kebun Seni, Jl. Tamansari No. 69 Bandung.
Sebelum diskusi dimulai, Naya sudah hadir di tempat. Senyumannya memesona, sumringah khas anak-anak. Naya pun menarik perhatian beberapa peserta diskusi, bahkan ia mengajak orang-orang untuk bermain bersama. Kecerdasan dan gaya bertutur lisannya yang baik terlihat saat ia bermain permainan “ABC ada berapa”. Dengan gesit, ia mampu menyebut nama-nama negara sesuai dengan huruf abjad yang keluar, lebih cepat dibanding dua orang dewasa lainnya. Wawasan, kecepatan berpikir, dan cara bertutur yang baik menjadi penting bagi seorang sastrawan.
Diskusi dimulai dengan pembacaan puisi dari beberapa peserta diskusi yang hadir, semuanya orang dewasa. Dengan lugu, mereka merubah suaranya seperti anak kecil, untuk menggambarkan suasana batin Naya saat menulis puisinya.
Pembicara pertama, Mif Baihaqi, pengajar Psikologi di Universitas Pendidikan Indonesia. Mif bercerita, “Anak-anak memiliki keingingan bercerita yang sangat tinggi. Ketika ia bercerita, sulit dihentikan. Ciri yang sangat lekat adalah dengan penggunaan kata ‘lalu’, ‘terus’. Artinya, dia dia tidak bisa berhenti merajut satu peristiwa ke peristiwa lainnya.”
Potensi bercerita yang besar di anak kecil, didorong juga oleh kemampuan daya hal atau imajinasi anak yang tidak terbatas. Sehingga, cerita anak akan menghasilkan hal-hal luar biasa. “Namun, jika cerita-cerita anak itu didiamkan begitu saja, maka ia akan menjadi sia-sia dan hilang. Naya sudah berhasil menuliskannya.”
Mif mencari kerangka psikologis dari pikiran Naya berdasarkan delapan puluh puisi yang ditulis Naya. Ia menemukan ada berbagai tema yang mendorong Naya menulis, yaitu: penciptaan atau proses membuat sesuatu, perkakas, binatang, alam, diri, dan puisi persembahan untuk orang atau tokoh dalam sebuah cerita di film dan buku. Imajinasi Naya didorong oleh kemampuan membacanya yang kuat, misalnya ia menulis untuk Anne Frank.
Ari Senja, seorang pegiat pendidikan memerhatikan cara Naya membuat karya. Ia menuturkan pengalamannya saat mendidik anak-anak di Australia. Bagi Ari, Naya memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi dalam menuturkan sesuatu, hal itu memperlihatkan pemikirannya yang tidak biasa.
Ari menjelaskan, “Jelas, Naya berbeda dengan anak-anak di sana, tanpa merendahkan anak didik saya di Australia, Naya jauh lebih hebat, mampu membuat hal-hal kecil menjadi penting. Anak-anak di sana cenderung sangat pragmatis, menjelaskan sesuatu sesuai dengan kepentingannya sesaat, tidak ada imajinasi. Misalnya saat saya meminta mereka mendeskripsikan es krim, kebanyakan dari mereka hanya mampu berkata ‘yummy’, atau ‘delicious’.”
Tentu orang bertanya-tanya, pendidikan bagaimana yang didapatkan Naya sehingga mampu memiliki wawasan luas, imajinasi tinggi, dan menuliskannya dalam larik-larik puisi. Ari menjelaskan sistem pendidikan di East Victoria Kindergarten yang dirasa mirip dengan pendidikan yang dilakukan Naya di keluarga. Di sekolah itu, guru hanya menjadi fasilitator bagi orangtua anak, sementara yang mendidik adalah orang tua mereka.
Sistem pendidikan itu diamini oleh Yona, Ibunda Naya yang turut hadir dalam diskusi. Ia menyepakati dan turut menerapkan pepatah lama yang menyebut bahwa rumah adalah madrasah pertama bagi anak dan ibu adalah guru pertama bagi mereka. Yona menganggap, “Pendampingan terhadap Naya itu sangat penting. Saya sering mendidiknya mendongeng, mengajaknya membaca, dan tentu meluangkan waktu untuk berdiskusi. Itu menjadi kegiatan penting bagi Naya.”
Diskusi selanjutnya lebih bergulir pada parenting, karena banyak yang heran mengapa Naya di usianya yang masih belia mampu menjadi penulis yang mengagumkan. Hal yang pertama dikemukakan Yona adalah bahwa sebenarnya ia tidak mengharapkan dan memaksakan Naya menjadi seorang penulis. “Saya hanya mengharapkan Naya menjadi penulis tanpa menjadi penulis.”
Yona pun menceritakan bagaimana hingga akhirnya ia dapat menjadikan Naya sebagai anak yang mencintai literasi. Yona merupakan perempuan karier, dari pagi kadang hingga malam ia harus mengajar sebagai dosen. Untuk menghilangkan kejenuhan Naya, dulu ia sempat memberikan naya gadget dan film-film. Namun, pada akhirnya ia merasa hal itu dapat merusak Naya.
“Setelah menyadari itu saya memutuskan untuk sekolah kembali (pascasarjana) agar memiliki waktu yang lebih lama bersama Naya. Dari sana, saya mulai sering mendongengkan cerita untuk Naya. Lambat laun, Naya sering penasaran, bertanya, hingga akhirnya ia ingin membaca sesuatu oleh dirinya sendiri.”
Cerita semesta Naya dan resep menjadi penyair cilik tampaknya dapat ditangkap oleh orangtua di Indonesia, bahwa melalui sastra, anak bisa menjadi cerdas dan lebih memahami dunia.[]
Leave a Reply