Oleh Tyo Mokoagow (Mahasiswa asal Kotamobagu yang tengah menempuh pendidikan di Universitas Pasundan, Bandung)
Beberapa pekan silam seorang kawan mengirim konten menarik di facebook. Dia mengutip cerita John Edgar bocah 4 tahun, yang lihat pesawat yang terbang saban tinggi hingga lenyap sama sekali dari cakrawala. Hingga pada suatu ketika bocah itu berkesempatan menumpangi pesawat dan berkata pada sang ayah dengan lugu, “benda-benda (ternyata) tidak mengecil di pesawat ini ketika terbang.” Rupanya Edgar menyangka, sewaktu pesawat terbang menjauh, ukurannya menyusut kecil bak noktah nyaris timpas.
Kawan tersebut sesungguhnya lagi bicara soal program filsafat buat anak yang digalakan di Inggris. 3000 anak usia 9-10 tahun berpartisipasi dalam diskusi mingguan seputar kebenaran, keadilan, persahabatan dan pengetahuan. Walhasil, muncul peningkatan kemampuan anak dalam matematika serta literasi.
Program tersebut barangkali sebuah eksperimen yang pantas diperhitungkan. Mengingat alergi berlebihan atas filsafat hingga orang dewasa semakin malas mempertanyakan kembali segala sesuatu yang sudah taken for granted.
Padahal menurut dosen filsafat Unpar, Bambang Sugiharto, anak kecil merupakan cerminan filsuf ulung. Mereka suka bertanya kritis sampai radikal. Mereka mengais ulang apa yang mulanya diterima apa adanya jadi sesuatu yang perlu dibingungkan kembali. Dalam banyak kasus, orangtua justru gunakan pola asuh buat menerima pendapat kebanyakan orang sebagai kenyataan yang mapan dan tak tertangguhkan, dan naluri bertanya itu terkikis — lebih diperparah tatkala langkah anak mulai menapaki dunia pendidikan formal.
Dalam suatu diskusi, Bambang Sugiharto menyampaikan sebuah demonstrasi sederhana: sementara asyik disuapi, seorang anak bertanya pada sang ibu, “kenapa aku harus makan, ma?”
“Biar kamu tumbuh sehat,” sang ibu jawab dengan nada sejuk.
“Kenapa aku harus sehat?”
“Supaya nanti bisa bermain sama teman-teman nak,” jawab ibunya santai.
“Kenapa harus bermain sama teman-teman sih, ma?”
“Agar kamu, bisa menjalani hidup,” pungkas ibu, yang tampaknya kian kewalahan dan mau menutup hujan pertanyaan itu.
“Lho, kenapa aku harus hidup? Dari mana kehidupan itu?” Lalu sang ibu tercekat, tenggorokannya mendadak sekering savana.
Kita mahfum apa yang bakal terjadi kemudian pada orangtua kebanyakan. Mungkin mereka bakal mencari-cari cara supaya anak terpaksa diam. Mungkin mereka suruh sang anak buat menghabiskan makanannya dulu sebelum bicara, lalu meninggalkan anak bersama sepiring makanan yang usai sembari pura-pura obrolan itu tidak pernah terjadi.
Tanya itu lalu menggantung bagai nasib yang tidak layak diacuhkan; jadi puing reruntuhan yang bagai kerikil, dilewati begitu saja oleh sejarah dan waktu.
Lalu gelora bertanya itu pun surut seiring usia bertambah tua. Anak-anak mengikuti tabiat orang tua yang menganggap berfilsafat sebagai pekerjaan konyol dan kurang kerjaan. “…ketika dunia digerakkan oleh kesibukan meraup uang sebanyak-banyaknya, dan diramaikan hiruk-pikuk memburu kenikmatan, karier, popularitras dan kekayaan, filsafat tampak bagai verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya…,” ujar Bambang Sugiharto dalam kata pengantarnya di Dunia Sophie.
Suatu ketika yang tak terduga, Sofie Admundsen, gadis 14 tahun dari Norwegia dikirimi pesan misterius di kotak posnya: “Siapakah dirimu? Dari manakah asal-muasal dunia?” Sejak hari itu, Sofie diam-diam sudah jadi murid Alberto Knox, seorang filsuf berusia kepala lima.
Tapi kenapa harus Sofie? Kenapa harus seorang bocah? Mungkin karena Knox paham betul, jiwa anak kecil belum dikerangkeng sekelumit aturan hidup yang membosankan. Sebab alam mental Sofie dan anak-anak lain tidak ubahnya tabula rasa, belum kena polusi. Imajinasi dan naluri mereka liar, polos dan tidak terbatas: bahan bakar yang tepat bagi kerja filsafat.
Bambang Sugiharto pada awal buku itu, merekomendasikan Dunia Sophie sebagai gerbang yang cocok bagi siapapun bertamasya filsafat. Sebuah disiplin yang didalami kembali — sebab tiap kodrat anak manusia adalah filsuf sebelum mereka berhenti bertanya — pada umur yang biasanya menginjak 20an ke atas. Saya pun yakin, bila ada seorang anak berusia 8 tahun (nyaris setengah usia Sofie Andmundsen, pemeran utama novel itu) sudah berani melahap buku tebal 800 halaman itu, Bambang Sugiharto ataupun kita, bakal tercengang takjub.
Nama anak itu Abinaya Ghina Jameela atau Naya. Dengan ditemani Bunda Yona, mereka hadir di Bandung menepati undangan diskusi oleh Tocoburuan.co, 29 April kemarin. Saya adalah salah satu peserta diskusi itu. Dan jamak dari kami dalam pertemuan itu, pasti memendam satu keheranan yang serupa, bagaiamana bisa seorang gadis 8 tahun sudah bisa membuat “Resep Membuat Jagat Raya”, sebuah buku puisi dengan diksi-diksi ciamik nan lezat.
Lalu ibunda Naya, Yona, mengutarakan pengalaman merawat Naya hingga ke proses ini. Dari Yona, kami belajar, keluarga sebagai madrasah pertama mestinya bertugas mengeksplorasi alam imajiner anaknya, menguak sisi-sisi tak terbatas dari kehidupan manusia. Untuk itu, Yona mesti menurunkan ego satu tingkat di bawah anak, agar dapat menjadi bagian dari cara Naya berpikir. (Cara yang entah kenapa membuat saya teringat program filsafat buat anak di Inggris).
Yona mengakui, ia memberi kebebasan pada sang anak buat membaca buku apapun yang Naya suka. Anak itu bahkan sudah mengakrabi berbagai tokoh dan kisah yang barangkali masih asing bagi beberapa orang dewasa: Dunia Sophie Jostein Gardner, Catatan Anne Frank, Hypathia (filsuf perempuan pertama), Saut Situmorang, mitologi-mitologi Mesir dan banyak lagi. Meski begitu, Naya menceritakannya kembali dengan tekstur puisi yang kenyal dan lembut, pembaca pun serasa menyantap es krim atau roti lapis karenanya.
Kemudian sesi interaksi dengan peserta dibuka. Ketika ditanya puisi apa yang paling Naya suka, dia lugu menjawab “Resep Membuat Jagat Raya” yang juga dijadikan judul bukunya. Namun yang bagi saya paling menyentil dan menarik, sewaktu seorang meminta tips soal “…bagaimana sih, resep menuntun anak agar bisa bikin ‘Resep Membuat Jagat Raya’?”
Bicara perihal jagat raya, Karlina Supeli berkelabat sesaat. Dalam buku Dari Kosmos Ke Dialog, dia bicara tentang alam semesta yang komposisinya 96% dark matter (materi gelap). Dengan demikian potensi manusia memahami jagat raya hanya sejauh 4% saja. Selebihnya adalah misteri, yang barangkali tidak terbatas.
Teka-teki asrar ini bagi Einstein adalah eksostisme yang membuat fisikawan terpukau dan takzim. Kalangan ilmuwan mulai mewacanakan M Theory, sebuah ikhtiar membaca pikiran Tuhan sewaktu menciptakan alam semesta. Menelisik rahasia-rahasia tidak terbatas dari penciptaan. Dan ketika teori demi teori membiak, gadis berusia 8 tahun lalu hadir dan membumikan resep penciptaan itu dalam sebuah puisi, diseret dari medan bahasa yang ruwet dan jelimet.
Mungkin ada sedikit kekeliruan ketika orang menannyakan resep membuat Naya hingga menciptakan buku puisi. Mungkin, jagat raya dalam “Resep Membuat Jagat Raya”, adalah Naya itu sendiri. Jagat raya adalah perlambang dari misteri tidak terbatas, yang mewakili imajinasi Naya (anak kecil) yang tak terpermanai. Ke-tak-terhinggan imajiner itu meretas segenap sekat, bakat yang semakin lenyap dari diri orang dewasa. Kita pun bisa saja mengira, orang yang tumbuh tua dengan kegemaran suka bertanya (filsafat) dan berfantasi (sastra dan seni), mereka adalah anak kecil yang berhasil bertahan hidup.
Lantas kesempatan berbagi gagasan tiba pada saya. Saya hanya minta saran sederhana dari Naya, “apa sih tips jadi anak kecil?” Awalnya Naya geragao, lalu dengan kepolosan khas anak-anak, ia jawab singkat, “…bingung, hehe.” Forum diskusi lalu meletus oleh tawa. Ada yang terpingkal malah. Tapi kok, hanya saya yang mungkin menanggapinya serius. “Bingung…?” Tentu saja, seorang filsuf harus bingung, harus gelisah (angst).
Selepas pertemuan itu, entah kenapa saya merasa berkewajiban, buat meluangkan banyak waktu bermain dengan anak-anak.
Leave a Reply