Padang Ekspress, Cagak, Minggu 3 Januari 2016

Screenshot_2016-01-03-08-46-49

“Dunia Seperti” dalam Puisi Naya

Wartawan : Yusrizal KW – Editor : Riyon – 03 January 2016 10:38 WIB    Dibaca : 5 kali

Ada yang mengetuk pintu

saat pintu dibuka ia tak terlihat
dan diam memasuki rumah
Ketika menutup pintu lagi
ia tak lagi di depan rumah, ia di depanku
ia bertopi hitam, berwajah hitam,
berbaju hitam, hitam seperti bola mata
Dan dengan muka menyeramkan ia memasuki
tubuhku lewat mulutku
merubahku menjadi hitam lalu keluar
seperti air yang hitam.
Di rumahku telepon berbunyi
ada seseorang yang menelpon
dan terdengar suara Baa baa doook dook dook
dan aku menutup telpon.

Puisi di atas ditulis gadis kecil berusia enam tahun, Abinaya Ghina Jamela (Naya), berjudul Babadok. Puisi tersebut lahir, setelah ia bersama bundanya, Yona Primadesi, menonton film The Babadook, sebuah film horor Australia, yang ditulis dan disutradarai oleh Jennifer Kent dan dibintangi oleh Essie Davis dan Daniel Henshall.

Sepertinya, film tersebut, mencekam sampai ke pikiran Naya, yang secara imajinatif bisa dibayangkan, gemuruh dalam dada “penyair cilik” itu kala mengakhir puisinya: dan aku menutup telepon. Antara lain film-film yang sudah ditonton Naya: IP Man, The Good Dinosaurs, Inside Out, The Heart of the Sea, Star Wars, The Martian, The Walk, Hachiko dan beberapa menginspirasinya menjadi puisi.

Menurut sang ibu, dosen di Universitas Negeri Padang, Naya sudah menulis puisi sekitar 50 judul sejak ia pandai membaca, setahun lalu. “Menulis puisi menyenangkan, Ada mawar, gajah, nenek, bunda, juga naga,” kata Naya dalam puisinya berjudul “Aku Seorang Penulis”.

Puisi-puisi Naya, sering diupload di akun Facebook sang ibu, yang diketik ulang dari tulisan tangan Naya, tanpa mengubah kata dan kalimat asli milik Naya. Karena itu, kadang disertakan juga tulisan tangan asli Naya pada sehelai kertas buku tulis. Puisi Naya, sebenarnya sudah banyak dinikmati netizen melalui akun media sosial ibunya, selain langsung ke blog duniakecilnaya.com, banyak dapat komentar jempol.

Sebagaimana ibunya, gadis kecil berusia enam tahun ini, menyukai nonton bioskop, membaca dan menulis puisi. Pengalaman membaca, menonton, dan menyaksikan sesuatu yang menurutnya mengesankan, serta merta akan menjadi sebuah puisi. Puisi kata Naya, sesuatu yang ada metaforanya.

Nah! Setidaknya, kata metafora yang ia tahu dan dengar dari ibunya, membuat ia lebih mudah membedakan prosa dengan puisi, dengan cara gamblang kanak-kanaknya.

“Dunia Seperti”

Naya lahir dan tumbuh, di pelukan ibu yang menyintai buku, membaca sastra, menonton film pilihan, serta berkunjung ke perpustakaan dan punya jadwal khusus untuk membaca. Naya menjadi gadis kecil yang menyair, suka membaca ensiklopedia, cerita, puisi, juga melukis dengan kebebasan imajinasinya, menjadikannya begitu ekspresif menulis puisi.

Membaca puisi-puisi Naya, kita bagai seseorang yang menemukan seorang anak yang di kepalanya menyala imaji, yang terkadang liar dan sesekali begitu asyik dan manis, penuh metafora atau majas perbandingan atau perumpamaan, walau ia lahirkan puisi tanpa mempertimbakan istilah yang bisa tersematkan dalam memabaca karya cucu dari Musdek Kh dan Mislawati ini.

Dalam puisi Naya, kita menemukan gaya bahasa yang membandingkan secara langsung antara dua hal atau sesuatu dengan menggunakan kata pembanding, yaitu kata “seperti”.

Membaca puisi-puisi Naya, kita merasakan, “dunia seperti” dalam puisi Naya, terasa hidup dan mengesankan dalam sebuah perumpamaan atau perbandingan yang kreatif, misal: Ibu membeli wafer, seperti petak sawah yang kering (Puisi Wafer), Buku tentang jantung yang detaknya/ Seperti kuda berlari (Puisi Ketika Aku Membaca Buku), Tak ada yang bisa tumbuh di gurun/ hanya kaktus tumbuhan gendut/ banyak duri seperti bunglon (Puisi Gurun), Di kamarku ada kasur seperti kue buatanku/ lalu lemari seperti pohon (Puisi Rumah), Di Papua itu panas sekali/ seperti tanganku memegang matahari tapi juga/ terus hujan (Puisi Papua), Nenek adalah guruku/ hidungnya seperti piramid mesir/ suara nenek seperti bunyi hujan/ badan nenek kecil tapi tidak seperti kurcaci (Puisi Aku dan Guru).

Menurut pengamat sastra Nasrul Azwar yang sempat membaca puisi Naya di blognya, puisi Naya adalah dirinya sendiri. Dan Naya mengekspresikan dalam wujud tulisan jenis puisi, mungkin juga gambar. Naya punya intuisi dan ketajaman batin yang merupakan modal dasar seorang penulis puisi. Dan ia seorang pengamat yang tajam. Simaklah, semua puisi Abinaya Ghina Jamela berangkat dari amatannya. (Silakan juga baca tuga puisi Naya di 17. Red)

Ada catatan menarik tentang Naya dan puisinya dari seorang penyair yang memiliki analisis dan pemaknaan yang kuat dalam membaca karya sastra, yaitu Ahmad Yulden Erwin (AYE).

Penyair asal Lampung yang juga cukup tajam dalam mengkritisi karya sastra, di akun Facebooknya, 28 Desember 2015 lalu, menuliskan, “Kita yang masih belajar menulis puisi sebaiknya membaca puisi Naya ini, terutama tentang bagaimana membuat majas perbandingan yang benar, membuat simile dengan tepat, di dalam sebuah teks puitik.

AKU DAN GURU

Aku dan teman-teman sudah masuk kelas
aku duduk bersama temanku bernama Nani.

Sepulang sekolah, aku dan Nani kehujanan
di jalan belok aku bertemu guru dan ia
membawa payung dan beloknya
menjadi sama karena rumahnya sebelahan.

Rumahku berwarna hijau seperti daun
dan rumah ibu guru berwarna biru seperti langit.
Biasanya ibu guru belok kanan
dan aku belok kiri.

Nenek adalah guruku
hidungnya seperti piramid mesir
suara nenek seperti bunyi hujan
badan nenek kecil tapi tidak seperti kurcaci.

Nenek tak pernah marah padaku
tidak seperti bunda yang seperti naga
mulutnya mengeluarkan api.

Menurut Yona, yang saat ini sedang menuntaskan program doktor di Unpad Bandung, menulis merupakan hal baru bagi Naya. Kemampuan Naya menulis berawal sejak ia mahir membaca, setahun lalu. Awal kedatangan di Bandung, Jawa Barat, Naya seperti anak-anak 5 tahun lainnya; suka bermain, adiktif terhadap gawai dan pesawat televisi.

“Kekhawatiran saya pada kebiasaan tersebut yang akhirnya memaksa saya untuk mengajarkan Naya membaca lebih awal; 10 menit menjelang tidur dan 10 menit ketika bangun pagi. Naya butuh waktu kurang empat minggu untuk bisa membaca.

Lalu kapan Naya pertama kali menulis puisi? Penghujung tahun 2014, rumah mereka sering kedatangan tamu yang juga seorang penulis, Nermi Arya Silaban. Saya dan Nermi banyak berdiskusi mengenai proses menulis dan karya para penyair. Di setiap kesempatan diskusi, Naya seringkali hadir.

Awalnya hanya mendengarkan, kemudian mulai bertanya ini dan itu. Naya menjadi bagian dari banyak diskusi yang kami lakukan. Ia diposisikan bukan sebagai anak-anak semata, tetapi juga sebagai rekan yang boleh mengutarakan pendapat.

Satu kebiasaan Nermi yang turut memberi andil pada minat Naya menulis puisi, ia selalu memperkenankan Naya membaca puisi-puisi yang tengah ia tulis, meski baru satu bait, untuk kemudian meminta pendapat dan komentar Naya atas tulisan tersebut.

Yona awalnya mengangap hal tersebut belum waktunya, karena bahasa puisi berbeda jauh dengan bahasa dalam buku-buku cerita milik Naya. Hingga saya dikejutkan ketika suatu pagi Naya menyodorkan saya sebuah kertas berisi sebuah puisi karyanya yang berjudul Rumah Hujan.

Kepada Padang Ekspres, Naya ingin puisinya banyak dibaca orang, diterbitkan media, serta dalam bentuk buku kumpulan puisi dan karya lukisnya. Naya pernah sekolah Taman kanak-kanak, namun, ia minta berhenti pada bundanya, setidaknya, dunia membaca dan menulis, kini menempa potensi kreatifnya. (*)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a website or blog at WordPress.com

%d bloggers like this: