/Bagian Satu/

Namaku Gotos. Aku masih bingung kenapa orang tuaku memberi nama yang aneh padaku. Memberi nama pada anak-anak adalah pekerjaan yang sangat serius. Orang tua tidak boleh asal-asalan. Orang tua tidak boleh ceroboh dan memberi nama anak sesuka hati mereka. Kata ibuku, namaku adalah doanya. Tapi aku bingung, Gotos itu doa seperti apa? Dan aku masih belum menemukan jawabannya. Ibuku bilang, kamu harus mencari tahu sendiri.

Menurutku, banyak nama yang lebih bagus ketimbang Gotos. Misalnya temanku, namanya Nuraini. Ibunya mau dia jadi anak yang selalu bersemangat. Temanku yang lain bernama Baringin. Ibunya mau dia seperti pohon, melindungi orang-orang di dekatnya. Tapi Gotos? Aku hanya teringat, tonggos. Mana mungkin orang tuaku mendoakanku menjadi anak yang punya gigi tonggos? Itu kan ceroboh dan sangat kelewatan.

Aku teringat sebuah cerita ibuku. Kata ibuku, waktu lahir aku tidak punya pantat. Maksudku bukan benar-benar tidak punya pantat. Aku tentu saja punya pantat. Jika aku tidak punya pantat, artinya aku tidak punya kaki. Pantatku rata, benar-benar rata. Kata ibuku, waktu aku lahir, pantatku seperti meja peralatan rumah sakit, datar. Orang-orang di ruang bersalin tertawa. Dokter yang membantu ibu bersalin juga ikut tertawa. Tapi itu cerita ibuku, sih. Aku tidak terlalu yakin.

Aku pikir, dokter itu ceroboh jika dia tertawa melihat bayi yang baru lahir. Dokter itu tertawa keras sekali. Ketika tertawa, tangan dokter itu bertumpu pada meja peralatan rumah sakit. Mungkin dia tidak sanggup menahan tawanya. Jadi, dia perlu bertumpu. Tetapi meja itu beroda. Dan karena terlalu keras tertawa, badannya berguncang. Meja itu tidak bisa menahan berat badannya. Mungkin berat badannya mencapai delapan puluh kilogram atau lebih. Meja itu bergerak, rodanya bergeser, dan Gubrak! Si dokter terjatuh. Peralatan di meja itu bertumpahan ke lantai.

Semua orang di ruangan itu makin terbahak-bahak melihat dokter yang terjatuh. Termasuk para perawat. Pikirku, kenapa orang-orang selalu menertawakan orang yang jatuh atau menerima kesialan, bukannya menolong mereka? Tetapi mendengar cerita ibu, aku merasa cukup puas. Ya, tentu saja aku puas. Kok, bisa-bisanya dokter menertawakan pasiennya? Dan dia tertawa paling keras. Ya, syukurlah dia juga terjatuh paling keras.

Dia ceroboh sekali. Dia ceroboh sudah menertawakan pasiennya dan aku yang baru lahir. Dia ceroboh tertawa paling keras, padahal dia dokter. Dia ceroboh karena badannya yang tinggi besar bertumpu di meja kecil yang beroda. Benar-benar dokter yang ceroboh. Aku jadi tidak yakin jika dokter itu orang yang benar-benar pintar dan cerdas. Ya, seperti kata orangtua dan guruku di sekolah, setiap anak yang pintar pasti dikira cita-citanya mau jadi dokter.

***

Aku berjalan di jalan kompleks perumahan. Jalan itu kecil dan beraspal. Warnanya abu-abu. Jalan itu bersih sekali. Di kiri kanan jalan ditumbuhi bunga-bunga. Aku tidak tahu namanya. Aku juga tidak yakin, orang yang menanam bunga itu tahu namanya. Orang-orang hanya menanam tanaman semau mereka. Pokoknya indah dan wangi. Mereka tak peduli itu beracun atau tidak. Ceroboh sekali!

Aku melihat teman-temanku bermain tarik tambang dengan karet-karet yang disatukan. Mereka bermain di lapangan di ujung jalan. Lapangan itu tidak ditumbuhi rumput. Lapangan itu sudah diberi batu-batu persegi. Aku lupa namanya.

Aduh…, aku khawatir mereka terlalu kuat menarik karet-karet itu, lalu, Umbyar makbyar!! Karet-karet itu rapuh, akan putus, dan berhamburan. Harusnya mereka menggunakan tambang, bukan karet. Namanya saja tarik tambang bukan tarik karet. Sepertinya mereka tidak punya KBBI di rumah.

Bagaimana jika karet-karet itu putus dan berhamburan? Mereka pasti terjatuh. Mereka saling menimpa badan teman yang lainnya. Mereka akan terluka karena kaki atau lutut mereka menghantam lantai yang keras. Huh, dan yang lebih menyebalkan, rantai karet itu jadi rusak. Padahal aku yang membuat rantai karet panjang itu. Dan pasti mereka akan memaksaku lagi untuk membuat yang baru. Bukankah itu merepotkan? Mereka tidak memikirkan baik-baik apa yang mereka lakukan. Ceroboh sekali!

Aku memilih bersembunyi di balik pohon Mangga. Pohan mangga itu punya pak Ubon. Pak Ubon jarang terlihat di rumahnya. Dia berangkat pagi-pagi sekali dan pulang ketika semua orang di kompleks sudah tidur. Aku tidak tahu apa pekerjaannya. Pohon mangga pak Ubon tinggi dan daunnya lebat. Jika musim mangga, buah mangga di pohon ini banyak sekali. Mangga-mangga itu bergantungan seperti monyet-monyet. Maksudku seperti monyet, karena mereka berpindah dari pohon ke tangan orang yang mengambilnya. Maksudku lagi, keesokan hari pasti mangganya sudah hilang. Mereka tidak pernah meminta terlebih dahulu pada Pak Ubon. Harusnya mereka bilang kalau mau mengambil mangga Pak Ubon. Kalau tidak, itu sama saja dengan mencuri.

Tapi orang-orang itu tidak peduli. Mereka ceroboh sekali. Seakan-akan ketika melihat mangga di pohon milik Pak Ubon, otak mereka lenyap. Di kepala mereka hanya ada buah mangga milik Pak Ubon. Bayangkan kalau Pak Ubon marah dan melaporkan mereka ke polisi? Tentu saja Pak Ubon tidak salah. Itu pohon mangganya. Pohon itu tumbuh di depan rumahnya. Orang-orang mengambil mangganya tanpa permisi. Tapi orang-orang akan bilang kalau Pak Ubon terlalu berlebihan, hiperbolis. Masa mengambil mangga saja dilaporkan polisi? Menurutku, mencuri, ya mencuri, titik!

Saat aku baru siap bersembunyi, Gubraak! Ugh, cepat sekali karet itu putus, padahal aku baru membuatnya kemarin. Seperti dugaanku, bukan? Teman-temanku pasti sedang terjatuh. Mereka akan memasang wajah paling kesakitan. Ya, kesakitan karena kecerobohan dan ketololan mereka sendiri.

Tiba-tiba aku mendengar Yuka, bicara, “Teman-teman, kita minta bikinkan lagi saja sama Gotos.” Aku yakin semua yang ada di tempat itu menyetujui usul Yuka. Aku mengintip mereka bubar. Sepertinya mereka berpencar untuk mencariku. Aku lihat ada yang pergi ke rumahku. Tetapi, karena ia berlari dan terlalu terburu-buru, Bruk! temanku yang bernama Ledor terperosok. Dia menangis. Aduh, dasar anak yang ceroboh.

Di antara semua teman-temanku, Ledor yang paling ceroboh. Aku pernah melihat Ledor menjatuhkan nampan makanan di tangannya saat acara mantenan di rumahnya. Padahal acara itu baru akan dimulai sembilan menit lagi. Makanan yang berada di nampan itu goyang dan mengenai baju salah satu tamu kehormatan, alias bapak si penganten perempuan. Bapak itu terlihat kesal. Dia hampir mau memukul Ledor. Tapi ibu di sebelahnya melarang si bapak. Ledor, sih, terlalu ceroboh. Dia membawa nampan sambil melihat teman-temannya yang sedang main kelereng di halaman. Ledor hampir menangis. Dia gemetar melihat bapak yang marah itu. Ibu Ledor cepat-cepat memanggil dan menariknya ke dalam kamar. Sudah pasti Ledor dimarahi karena kecerobohannya. Semua tamu melihat ke arah bapak si pengantin, Ledor, dan ibunya. Aku kasihan sekali pada Ledor. (AGJ)

2 responses to “Orang-orang yang Ceroboh /1/”

  1. Fatya Bakhitah Sulaiman Avatar
    Fatya Bakhitah Sulaiman

    Salam kenal, Naya, aku Fatya, kamu bisa panggil aku Aya 😀 aku kagum banget sama kamu … jarang banget lho, orang bisa menuliskan cerita seperti ini … “kecerobohan”, topik yang sangat hebat … lanjut yaaa … aku penasaran lanjutannya hehehe^^

    Like

  2. fatya bakhitah sulaiman Avatar
    fatya bakhitah sulaiman

    salam kenal, Naya, namaku Fatya, kamu bisa panggil Aya 😀 aku kagum banget sama ceritamu loh … cerita tentang ‘kecerobohan’ yang sangat jarang disadari oleh orang-orang … lanjut yaa … aku penasaraaaannn 😀

    Like

Leave a comment

Trending