Kali ini, aku akan menulis ulasan tentang buku karya Umberto Eco yang berjudul The Name of The Rose. Karena cerita di buku ini cukup panjang dan kompleks, aku pikir aku akan membaginya menjadi beberapa bagian. Mungkin aku akan membaginya seperti Umberto Eco membagi setiap bagian dari buku, per hari. Tentu saja itu di awali Hari Pertama terlebih dahulu. Bahkan untuk Hari Pertama saja, aku membutuhkan waktu yang cukup panjang. Aku tidak habis pikir, ada orang yang bisa menulis serumit ini. Aku pikir Gabo sudah rumit ketika menuliskan idenya. Ternyata, Umberto Eco di tingkatan sedikit di atasnya. Hufftt!!

Hari Pertama Umberto Eco dimulai pada bulan November. Sepertinya tanggal 30, atau berdekatan dengan itu. Salju pada saat itu cukup tebal, sekitar 3 jari orang dewasa (aku pikir itu jari orang dewasa, bukan jari anak-anak). Umberto Eco menceritakan tentang 2 orang yang melakukan perjalanan ke sebuah biara.  Bagian awal Hari Pertama hanya diceritakan tentang aku, Adso dan guru  Adso yang bernama William. Mereka menuju biara.

 

The Name of the Rose_Abinaya Ghina Jamela_Ulasan Buku
Naya dan The Name of The Rose

 

Kamu tahu, deskripsi dalam buku The Name of The Rose ini sangatlah detail. Bagian sekecil apa pun diceritakan oleh Umberto Eco. Tidak ada yang terlewat sehingga para pembaca bisa membayangkan setiap deskripsi itu dengan jelas di kepala mereka. Aku jadi seperti menonton film 3D. Meskipun aku belum pernah ke sana, tapi deskripsinya membuat aku seperti bisa menggambarnya di bukuku.

Kedua orang itu menaiki keledai. Di perjalanan, mereka berbicara mengenai Abbas dari biara yang mau mereka tuju itu. William bekata kepada muridnya, Adso, bahwa Abbas di biara itu tipe orang yang suka pamer pada acara umum. (Psst, itu potongan dialog William). Saat mereka sudah disambut dan masuk ke penginapan, akhirnya mereka bisa bertemu sang Abbas (kalian bisa membacanya di halaman 34). Menurutku, Abbas bukanlah orang yang suka pamer, seperti yang dikatakan William. Aku membacanya sebagai orang yang ramah.

Abbas menyapa William dan Adso dengan hangat. Ia juga mengucapkan kalimat sopan santun, ‘maaf mengganggu waktu kalian’. Aku pikir orang yang berbahasa seperti itu adalah orang yang sangat ramah. Karena di tempatku, orang-orang susah sekali bersopan santun dan mengucapkan kata maaf. Tapi aku juga tidak yakin. Mungkin saja Abbas hanya berpura-pura. Lagipula, novel itu setting waktunya sudah lama sekali dan mungkin masa itu orang-orang biasa bersikap ramah seperti itu. Hmmmmm!

Aku suka dengan perkataan Adso kepada pembaca ketika sampai di kamarnya. Aku meringkuk di tempat yang disediakan untukku, menutupi tubuhku dan tidur dengan nyenyak. Bahkan orang-orang akan mengira aku hanya sebuah bungkusan. Seperti perjalanan mereka cukup jauh dan melelahkan. Bagaimana tidak, Adso sampai berkata bahwa dia seperti bungkusan ketika sedang tidur. Menurutku, itu sama artinya jika si Adso tidak akan memedulikan apapun jika ia sudah tidur.

Ketika Abbas berkata pada William bahwa mereka akan membicarakan hal yang serius, aku kira mereka akan mendiskusikan sesuatu yang sangat penting dalam buku itu. Tapi ternyata berbeda dengan apa yang ada di pikiranku. Mereka malah membicarakan terlalu banyak persoalan agama dan sejarahnya. Sejarah Katolik, atau apalah, yang aku tidak mengerti. Bagian itu memberiku banyak istilah. Aku harus mencatatnya dan perlu bertanya kepada Bunda untuk memastikannya. Jika tidak, aku tidak akan mengerti apa-apa yang mereka bicarakan. Aku pikir bagian ini seperti aku membaca sebuah laporan atau buku-buku yang sedikit membosankan.

Tapi di awal obrolan, mereka membicarakan tentang William yang bisa memprediksi hewan apa yang sudah melewati jalan di depan biara. William hanya mengira-ngira dan memprediksinya dengan tepat. William menggunakan logika untuk memprediksi hal tersebut. William menebak bahwa yang lewat di jalan itu adalah kuda Abbas, yang panjangnya kira-kira 15 telapak tangan (tentu saja telapak tangan William, bukan telapak tanganku). Kuda itu pasti tinggi dan besar sekali. William menggunakan klu patahan ranting buah blackberry atau blueberry. Jadi aku berpikir, William orang yang sangat teliti dan cerdas.

Mereka juga bercerita tentang perpustakaan yang ada di biara itu. Perpustakaan itu unik  atau mungkin misterius sekali. Jika kamu sudah masuk maka kamu tidak bisa keluar lagi. Mengerikan, bukan? Apa kamu mau masuk ke perpustakaan itu? Jika aku, aku tidak begitu yakin. Tapi anehnya, William bersikeras ingin masuk ke perpustakaan. Menurut pandanganku, William tipe orang yang serba ingin tahu. Ia seperti menyukai petualangan dan tantangan. Begitu juga dengan Adso. Ia tak jauh berbeda dengan gurunya.

Lalu bagaimana reaksi Abbas? Menurutku Abbas bukan orang yang terlalu peduli dengan persoalan perpustakaan yang misterius itu. Atau mungkin  dia hanya becanda mengenai perpustakaan itu. Ia hanya ingin menguji keberanian William dan Adso. Menurutmu, jika benar perpustakaan itu tidak memiliki jalan keluar, pakah William dan Adso benar-benar akan masuk ke sana?

 Tunggu ulasanku berikutnya, ya….?!

2 responses to “The Name of The Rose: Hari Pertama #1”

  1. Abhinaya anak ajaib, tulisannya mampu menembus batas melampaui pemikiran orang dewasa pada umumnya, teruslah berkarya Nak

    Like

Leave a comment

Trending