oleh Setyaningsih

aku radio bagi mamaku

Apa yang disampaikan anak berusia sembilan tahun dalam bukunya? Usia boleh sangat belia, tapi ini bukan cerita anak.

“Hari Minggu bukanlah hari yang baik buatku. Semuanya membosankan. Tapi untung saja sekarang sudah pukul enam lewat sepuluh. Makan malam belum siap. Papa masih saja belum pulang. Seharusnya Papa sudah pulang enam jam yang lalu. Kenapa enam jam yang lalu? Ya, karena sekarang hari libur! Tidak ada jadwal orang kantoran di hari Minggu. Tapi Papa selalu janji bertemu teman-teman di hari Minggu, dan harusnya sudah pulang enam jam yang lalu.” “Liburan Ke luar Kota” (hlm. 25)

“Liburan ke Luar Kota” adalah salah satu cerpen Abinaya Ghina Jamela yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpen terbarunya, Aku Radio bagi Mamaku (2018). Kita cenderung akan merasakan ramuan antusiasme atau kekritisan lewat cara-cara Abinaya mempertanyakan, mengonfirmasi, menanggapi hal-hal di sekitar untuk mencipta kenyataan di dalam cerita. Garapan Abinaya tentu hal-hal yang dekat; bekal, sekolah, teman, perpustakaan sekolah, liburan, hukuman, membolos, krayon, buku. Cerita-cerita Abinaya bersuara kuat dalam menyajikan konflik, meramu sebab-akibat, dan memunculkan pergolakan psikologis.

Sepuluh cerita disajikan Abinaya sebagai proses membentuk dan dibentuknya sikap serta cara berpikir, terutama oleh buku dan pola asuh literer dari orang tua. Pemilihan “aku” sebagai narator menambah kadar otoritas Abinaya sebagai pencerita, pemberi suara, dan pendokumentasi pengalaman di usia yang masih cukup belia, yaitu sekitar sembilan tahun. Si “aku” dalam cerita menjadi semacam alter ego dari Abinaya sendiri.

Pada pengantar buku kumpulan puisi Resep Membuat Jagat Raya (2017) kita sebenarnya sudah menyimak pernyataan ibu Abinaya, Yona Primadesi, tentang prosesi belajar Abinaya. Yona mengatakan, “petualangan pertama yang bisa saya tawarkan pada Naya adalah sebuah buku ensiklopedia dunia.” Pengasuhan berbuku Abinaya pun berlanjut, “Sejak Naya lepas dari ketergantungan terhadap pesawat televisi dan telepon pintar, buku memang menjadi rekan andalannya. Kebiasaan membaca inilah yang memberi pengaruh besar terhadap tulisan-tulisan Naya. Misal, pada puisi “Budak” yang ia tulis setelah menyelesaikan bacaannya tentang sejarah dunia atau puisi “Calon Arang” yang ia tulis ketika tuntas membaca salah satu karya Pramoedya Ananta Toer.

Untuk menjadi seorang penulis, sepertinya justru bukan buku-buku bacaan anak yang ditawarkan lebih awal. Pengertian anak-anak dan “buku anak” seperti ditampik oleh orang tua Abinaya. Bagi Ibu Abinaya, mungkin seorang anak bisa (boleh) membaca apa saja sejak dia bisa membaca. Asal anak tersebut selalu dalam bimbingan saat membaca. Kemampuan anak membaca dapat menentukan dan memengaruhi apa saja yang kelak ditulisnya. Memang bukan hanya masalah kognitif yang menentukan seorang anak dianggap berhasil atau mudeng membaca. Faktor lingkungan sosial juga turut menentukan.

Namun, kita kadung menyebut penulis anak tetap sebagai anak-anak karena usianya, bukan karena kemampuan kognitif yang terkadang bisa sangat mencengangkan orang dewasa.

Lewat buku kumpulan puisi Resep Membuat Jagat Raya, Abinaya “tidak sengaja” membuktikan kehadirannya di jagat sastra Indonesia. Buku ini diganjar beberapa penghargaan, di antaranya Buku Puisi Terfavorit 2017 versi Goodreads Indonesia dan Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 kategori karya pertama. Kita tahu, penghargaan biasanya mendata karya-karya penulis (dewasa) secara umum. Buku Abinaya tidak masuk dalam penghargaan level “sastra anak”. Buku puisi Abinaya tidak membedakannya dengan penulis lain, kecuali masalah usia. Demikian juga pada buku Aku Radio bagi Mamaku, ada kesengajaan tidak melabeli secara tertulis buku Abinaya sebagai “buku anak”. Buku dibiarkan masuk dalam ketegori buku (sastra) umum.

 

Terlalu Berat (?)

Tema buku dan membaca memang masuk sebagai tema cerita Abinaya. Pembaca (dewasa) bisa jadi akan mengatakan pilihan buku Abinaya terlalu ampuh karena secara umum buku tidak direkomendasikan atau dipasarkan untuk anak-anak. Kita cerap di cerita Aku Radio bagi Mamaku.

“Tapi akhir-akhir ini, aku punya buku kesukaan lainnya. Penulisnya bernama Gabo. Sebenarnya itu hanya nama singkat. Nama aslinya susah aku tuliskan. Jadi aku tulis saja, Gabo. Dia bercerita tentang Macondo. Dia menceritakan tentang laki-laki yang ingin dianggap sebagai jenius. Tapi aku suka Ursula.”(hlm. 29)

Para pembaca sastra Amerika Latin, sudah pasti tahu Gabo (Gabriel García Márquez) dan Macondo (sebuah kota fiktif dalam novel One Hundred Years of Solitude). Abinaya terkesan biasa saja menyebut Gabo dan Macondo seolah mengabaikan berapa banyak orang yang mumet menghadapi buku tersebut sejak halaman-halaman awal. Bagi para pembaca dewasa, tentu tidak bisa kembali belia atau membayangkan membaca Gabo pada usia sembilan tahun tanpa perlu menganggap One Hundred Years of Solitude. Terlalu berat bagi anak-anak.

Pada cerita “Perpustakaan yang Membuatku Bersin”, kita menyimak betapa tidak menariknya perpustakaan baginya bukan karena koleksi bukunya. Abinaya lebih menyorot keberadaan penjaga perpustakaan. Ada ketegasan dan sinisme yang dinyatakan dengan halus dengan bahasa Abinaya yang memang tidak terlalu lugu.

“Aku lihat Ibu penjaga perpustakaan sedang sibuk dengan handphone-nya. Ibu penjaga perpustakaan tidak banyak bicara. Dia bicara itu-itu saja hingga aku bisa mengingatnya: isi buku tamu, sekarang jadwal kelas siapa, tidak boleh berisik, dan buku disusun rapi lagi. Ya, semacam itulah. Dia hanya akan cerewet ketika guru lain atau mama-mama temanku datang ke perpustakaan atau ada anak-anak yang terlambat mengembalikan buku. Suaranya sangat mengganggu. Aku lebih suka Ibu penjaga perpustakaan bermain dengan handphone saja.” (hlm. 18)

Ada kekritisan dari seorang anak dalam menghadapi situasi yang tidak mengenakkan. Kekritisan ini muncul ke permukaan dapat secara spontan untuk melawan mitos yang biasa hadir dalam cerita anak, yaitu cerita berjalan dan berakhir sejahtera. Terkadang anak juga selalu didikte sesuai tanggung jawab moral orang tua. Memang, peran ibu yang sering ditampilkan Abinaya dalam cerita sering sebagai teman ngobrol-ngobrol konyol, pendengar, pemberi cerita atau penjelasan, sekaligus pemberi hukuman yang bijaksana. Orang tua bukanlah Tuhan yang kaku.

Lewat pola asuh orang tua yang cenderung membebaskan anak berargumen, berpendapat, dan mengajukan ide-ide, kita dapat mendengar penggunaan bahasa yang cukup berani serta kuat dalam tulisan Abinaya.

Seperti pada cerita “Aku Suka Bermain dengan Krayonku”, berakhir dengan posisi anak yang tidak perlu selalu dikuatkan dan ibu bukan motivator yang memberi nasihat anti-kesedihan. Abinaya menulis (hlm. 83), “Kata Mama tidak masalah. Tidak penting jadi juara di acara lomba. Mama juga bilang tak ada juri yang benar-benar paham lukisanku. Tidak ada yang mengerti maksud di kertas gambarku. Jadi, aku tidak mungkin menang. Tapi aku akan tetap melukis. Aku ingin membuat jagat rayaku sendiri. Tidak peduli orang suka atau tidak. Aku tidak perlu malu pada gambarku, untuk apa malu pada gambar sendiri?”

Memang, pernyataan yang tidak biasa dari seorang anak lazimnya bisa saja diartikan sebagai kesoliteran Abinaya. Entah sebagai “aku” dalam cerita atau “aku” dalam keseharian yang masih anak-anak. Lewat sepuluh cerita, Abinaya jelas sanggup “terbedakan” dari anak-anak sebayanya. Kepolosan Abinaya sudah menjelma penalaran ke hal-hal sekitar yang dirasa ganjil bagi mata pikir dan perasaan. Apalagi kekritisan Abinaya bisa dianggap menegasi kontruksi orang dewasa bahwa anak-anak sebaiknya tumbuh dalam komunalitas, entah dalam bingkai berbagi, bersekolah, bermain, berteman, bersantap, atau rekreasi.

Abinaya tidak menulis cerita (anak) seperti halnya orang dewasa menulis untuk misi besar mengajarkan moralitas yang sering kita dapatkan pada cerita anak—yang hampir selalu disertai pesan moral di akhir cerita. Sudut pandang “Aku”, sekalipun sering dianggap memuat kesan individualistik, tetap menjadi jalan pengungkapan kesan yang jujur. Abinaya mengajukan diri untuk tidak selalu setuju, selalu patuh karena takut, atau segan untuk mengatakan tidak.(*)

 

Sumber : https://jurnalruang.com/read/1548000117-semesta-pikiran-dan-bacaan-abinaya#

6 responses to “Semesta Pikiran dan Bacaan Abinaya”

  1. Wah jadi tertarik untuk membaca buku karya Abinaya… ❤

    Like

    1. Terima kasih, kakak…
      Janan lupa baca bukunya, ya kak 🙂

      Liked by 1 person

      1. Insya Allah bulan depan aku cari bukunya di lapak online. Bulan ini udah belanja buku lain soalnya 😉

        Like

      2. Terima kasih, kakak. Selamat membaca ya

        Like

      3. Naya sudah baca, kak. Terima kasih ya, kak 🙂

        Like

Leave a comment

Trending